2013-05-06 00:00:00
Melihat Aturan Pidana Poligami dalam RUU KUHP
Pada 19 April lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa No. 17 Tahun 2013 tentang Beristeri Lebih dari Empat dalam Waktu Bersamaan. Fatwa ini terbit sebagai respons atas pengaduan masyarakat tentang masih adanya warga yang beristeri lebih dari empat.
Koordinator Nasional Asosiasi LBH APIK Indonesia, Nursyahbani Katjasungkana berpendapat jauh sebelum Fatwa MUI itu keluar sebenarnya keharusan memenuhi syarat dan rukun untuk pernikahan kedua dan seterunsya sudah ditentukan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Misalnya, harus ada izin dari isteri pertama. Jika persyaratan dan rukun tidak dipenuhi, maka seharusnya tak bisa dilakukan istbat nikah.
Jika suami tetap melakukan pernikahan yang terlarang secara hukum, sebenarnya ia bisa dipidana. Fatwa MUI juga sudah mendorong agar pemerintah bertindak sesuai kewenangan untuk melepaskan perempuan yang tidak sah sebagai isteri itu melalui peradilan agama. Cuma, sangat jarang terdengar suami yang melakukan pernikahan lagi padahal ada halangan untuk itu diproses hukum dan dipidana. Bagaimana KUHP dan RUU KUHP mengaturnya?
Masalah ini diatur dalam Bab XV, pasal 462-466 RUU KUHP. Pasal 463 RUU KUHP mengancam setiap orang hukuman maksimal lima tahun penjara. Pertama, jika ia melangsungkan perkawinan padahal diketahui bahwa perkawinan atau perkawianan-perkawinan yang ada menjadi penghalang yang sah untuk melangsungkan perkawinan tersebut. Atau, kedua, melangsungkan perkawinan, padahal diketahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan dari pihak lain menjadi penghalang yang sah untuk melangsungkan perkawinan.
Pasal 464 RUU KUHP mengatur setiap orang yang melangsungkan perkawinan dan tidak memberitahukan kepada pihak lain tentang adanya penghalang yang sah, dan berdasarkan penghalang itu perkawinannya dinyatakan tidak sah, dipidana dengan pidana penjara maksimal lima tahun. Pelaku juga bisa dikenakan denda. Selanjutnya Pasal 465 mengatur ancaman pidana denda kepada orang yang tidak melaporkan perkawinannya kepada pejabat yang berwenang.
Rumusan Pasal 463 ayat (1) dan (2) RUU hampir sama dengan rumusan Pasal 279 ayat (1) dan (2) KUHP. Putusan Mahkamah Agung No. 435K/Kr/1979 memuat pertimbangan bahwa alasan suami bahwa pasal 279 hanya berlaku bagi perkawinan monogami tidak dapat diterima. Suami yang tidak memenuhi syarat UU Perkawinan tidak dapat menikah lagi.
Yang berbeda dari kedua Pasal tersebut antara lain mengenai masuknya pidana denda dalam RUU. Pidana dalam Pasal 463 RUU KUHP menggunakan kata ‘atau’ yang bisa berarti bersifat alternatif. Masuknya ancaman denda dalam RUU bisa jadi untuk mengakomodir ketentuan Pasal 45 Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal ini memuat ancaman denda kepada suami yang melanggar syarat dan rukun poligami.
Bahkan pelaku poligami, sesuai rumusan Pasal 466 RUU KUHP, bisa dikenakan hukuman tambahan berupa pencabutan hak, dan dapat juga dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran ganti kerugian.
Sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5187257da15ef/melihat-aturan-pidana-poligami-dalam-ruu-kuhp