2013-03-25 00:00:00
Santet dalam RKUHP Hanya Delik Formal
RKUHP hanya mengatur orang yang mempromosikan santet. Kegiatan santet sendiri tidak diatur karena sulit dibuktikan secara hukum.
Semangat pembahasan revisi KUHP dan KUHAP kembali muncul menjelang akhir masa jabatan anggota DPR pada 2014. Walau terkesan basi, anggota Komisi III DPR Dimyati Natakusumah mengatakan, pembahasan RKUHP dan RKUHAP akan dimulai lagi dari awal sejak pemerintah menyerahkan rancangan tersebut ke DPR.
Sejumlah pasal karet masih menjadi perdebatan di berbagai kalangan. Seperti Pasal 293 mengenai santet, Pasal 485 mengenai kumpul kebo, dan Pasal 483 mengenai perzinahan. Dimyati mengaku, DPR masih memerlukan penjelasan dari pemerintah terkait penerapan maupun pembuktian beberapa tindak pidana itu.
Rumusan Pasal 293 ayat (1) RKUHP mengatur, setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa yang dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik dipidana penjara paling lama 5 tahun.
Apabila pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) melakukan perbuatan itu untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka sesuai Pasal 293 ayat (2), pidana dapat ditambah dengan sepertiga. Rumusan inilah yang belakangan ramai diperdebatkan.
Menurut Dimyati, Pasal 293 RKUHP lebih diperuntukan bagi orang yang mempromosikan praktik ilmu hitam. “Sekarang di media banyak sekali orang yang mempromosikan ilmu gaib, entah benar atau tidak, itu yang menjadi perhatian. Kalau ada yang merasa ditipu, nah ini deliknya,” ujarnya dalam sebuah diskusi, Sabtu (23/3).
Selain dapat menjerat pelaku yang menawarkan santet, rumusan Pasal 293 itu juga dibuat untuk melindungi dari aksi masyarakat yang cenderung main hakim sendiri. Dimyati mengungkapkan, selama ini, seseorang yang diduga memiliki ilmu hitam sering menjadi sasaran amuk massa, pembakaran, bahkan pembunuhan.
Padahal, lanjut Dimyati, dugaan itu belum tentu benar. Bisa saja seseorang mengaku sebagai tukang santet, tapi pada kenyataannya hanya seorang penipu yang mencari uang untuk memperkaya diri atau keluarganya. Polisi pun terkadang berada dalam posisi sulit ketika hendak memproses pelaku pembunuhan dukun santet.
Untuk mencegah dan meminimalisasi hal-hal seperti ini, Dimyati menyatakan, masyarakat yang merasa dirugikan akibat praktik santet dapat melaporkan dengan menggunakan Pasal 293. Pasal itu dimasukkan pemerintah guna mengatasi keresahan masyarakat akibat praktik ilmu hitam yang sulit dibuktikan secara hukum.
Namun, pengamat Kepolisian Alfons Leumau merasa penyidik akan mengalami kesulitan membuktikan perbuatan santet. “Itu di luar ranah bidang pembuktian secara hukum dari tugas kepolisian. Artinya polisi tidak bisa menjangkau karena yang dipelajari di akademi, perguruan, dan fakultas hukum tidak membahas soal itu,” ujarnya.
Purnawirawan Polri ini menjelaskan, pengetahuan yang didapat polisi bersifat scientific investigation. Seluruh bukti dalam pengungkapan suatu perkara harus terukur. Polisi dilarang keras membuat penafsiran-penafsiran di luar ketentuan. Jangan sampai Polisi dianggap memberikan ketidakpastian hukum karena membuat penafsiran.
Misalnya, seseorang menawarkan dan mengaku dapat melakukan santet, tapi ternyata penipu. Alfons berpendapat, polisi mungkin lebih memilih menggunakan jerat delik penipuan seperti yang saat ini diatur dalam Pasal 378 KUHP ketimbang menggunakan Pasal 293 RKUHP. Sebab, Pasal 378 KUHP dinilai lebih cocok diterapkan karena lebih realistis dari sisi hukum.
Alfons berharap, jika fenomena santet mau dimasukkan menjadi delik dalam KUHP, sebaiknya ilmu pengetahuan mengkaji hubungan sebab-akibat itu secara ilmiah. “Ini menjadi persoalan baru yang tidak selesai-selesai karena tidak mudah dibuktikan. Bisa menimbulkan ketidakpastian hukum atau multitafsir,” tuturnya.
Senada, pakar hukum pidana Andi Hamzah menganggap santet merupakan perbuatan yang tidak bisa dibuktikan secara yuridis. Dia tidak menampik ada beberapa hal di dunia yang tidak bisa dipecahkan dengan ilmu pengetahuan. Sebagai solusi, delik pidana dalam Pasal 293 RKUHP dibuat untuk menjerat pelaku di tataran hulu.
Apabila ada orang yang mengaku bisa melakukan santet, orang itu sudah dapat dihukum. Ibarat mau membendung banjir di Jakarta, jangan biarkan hutan di Puncak ditebang. “Kalau ada orang mengaku-ngaku sebagai ahli santet, langsung bisa dihukum. Apa ternyata bisa atau tidak, sudah tidak menjadi persoalan,” terang Andi.
Libatkan Pakar Santet
Andi mengisahkan dulu dirinya melihat seorang ibu yang yang sering membasuh mukanya setiap pagi dengan bara api tanpa terluka sedikitpun. Ketika ditanya bagaimana mempelajari ilmu tersebut, si ibu tidak tahu karena tidak pernah ada yang mengajarinya. Kemampuan itu dia peroleh secara turun-temurun.
Sama halnya dengan ilmu gaib. Penjeratan di hulu menjadi penawaran alternatif untuk mengatasi fenomena santet yang tidak bisa dijelaskan dengan ilmu pengetahuan. Andi menilai, jika di tataran hulu sudah ditutup, tidak menjadi masalah orang yang mengaku bisa melakukan santet itu melakukan perbuatan atau tidak.
Akan tetapi, pengaturan di tataran hulu dirasa tidak cukup oleh politikus sekaligus paranormal Permadi. Menurut dia, tanpa melakukan pengaturan terhadap kegiatan santet, delik Pasal 293 RKUHP hanya menjadi delik formil. “Kalau delik materil, tanpa mengikutsertakan santetnya sendiri tidak akan bisa membuktikan,” katanya.
Permadi menyayangkan fenomena santet di Indonesia tidak diteliti secara khusus dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Sementara, di luar negeri ilmu gaib itu menjadi sesuatu yang sangat berharga untuk dikaji, meski di luar nalar. Di Inggris contohnya, sudah pernah dilakukan tes penyembuhan oleh dokter dan paranormal.
Sepuluh 10 dokter dan 10 paranormal diuji untuk menyembuhkan seseorang yang sakit parah. Permadi menceritakan, dokter mengambil sample darah untuk diteliti di laboratorium, sedangkan paranormal dengan cara lain. Setelah diadu dan dinilai dokter-dokter handal, ternyata hasilnya lebih tepat paranormal dan itu fakta.
Dengan demikian, Permadi meminta apabila DPR melakukan pembahasan mengenai delik santet, sebaiknya mengikutsertakan pula ahli-ahli di bidang santet. “Kalau masalah santet dibikin sendiri oleh ahli-ahli yang tidak mengerti santet, bahkan tidak mengakui santet itu ada, lebih baik tidak usah (dibuat delik santet),” tandasnya.
Sumber : (http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt514dc8765dc67/santet-dalam-rkuhp-hanya-delik-formal)