2012-07-06 00:00:00
Advieserende Functie MA dalam Pemberian Grasi.
Rahmat Setiabudi Sokonagoro, S.H., LL.M.
Bagian Hukum Setda Kota Yogyakarta
Peraturan perundang-undangan memberikan sejumlah kewenangan kepada Mahkamah Agung. Pertama, wewenang untuk memeriksa dan memutus permohonan kasasi, sengketa kewenangan mengadili, dan permohonan peninjauan kembali putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Kedua, wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang. Ketiga, memberikan pertimbangan terhadap permohonan grasi dan rehabilitasi.
Wewenang ketiga itulah yang kini mendapat sorotan seiring kritik tajam sejumlah kalangan atas pemberian grasi kepada Schapelle Leigh Corby. Keputusan Presiden (Keppres) No. 22/G Tahun 2012 tertanggal 15 Mei 2012 memberikan ‘grace’ kepada terpidana kasus narkotika asal Australia itu. Berkat grasi presiden, hukuman Corby berkurang dari 20 tahun menjadi 15 tahun. Pengurangan hukuman juga diterima warga Jerman Peter A.F. Grobmann melalui Keppres No. 23/G Tahun 2012.
Kedua Keppres itu akhirnya digugat Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Nasional Anti Narkotika (DPP Granat) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Berkas gugatan sudah dimasukkan kuasa hukum Granat pada 7 Juni lalu. Kebijakan pemberian grasi dinilai tak sesuai dengan semangat pemberantasan narkotika.
Sebagai pihak yang memberikan pertimbangan, Mahkamah Agung ikut terseret. Nama Mahkamah Agung berkali-kali disebut dalam surat gugatan Granat. Bisa jadi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengabulkan permohonan grasi karena Mahkamah Agung membenarkan langkah hukum tersebut. Minimal, Presiden SBY memperhatikan nasihat hukum Mahkamah.
Keputusan pemberian grasi kepada Corby dan Grobmann dinilai sebagai ironi dalam kebijakan pemberantasan narkotika yang selalu didengung-dengungkan pemerintah. Termasuk oleh Mahkamah Agung, yang sudah memasukkan narkotika sebagai kejahatan yang perlu mendapat perhatian pengadilan. Dalam Surat Edaran (SEMA) No. 3 Tahun 2001, Mahkamah Agung menegaskan ‘perlu ada kesungguhan dan perhatian’ dari pengadilan atas perkara narkotika.
Wewenang Mahkamah Agung memberikan pertimbangan dalam permohonan grasi sebenarnya amanat konstitusi. Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 merumuskan “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung”. Dalam penjelasan rumusan Pasal 14 UUD 1945 sebelum amandemen, wewenang itu dijalankan presiden selaku kepala negara. Sehingga pemberian grasi dianggap sebagai hak prerogatif presiden yang tak bisa diganggu gugat.
Rumusan senada terdapat pada Pasal 35 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Disebutkan ‘Mahkamah Agung memberikan nasihat hukum kepada presiden selaku kepala negara dalam rangka pemberian atau penolakan grasi. Rumusan ini kemudian disesuaikan dengan amandemen UUD 1945, sehingga dalam perubahan UU Mahkamah Agung 2004, rumusan Pasal 35 menjadi ‘Mahkamah Agung memberikan pertimbangan hukum kepada presiden dalam permohonan grasi dan rehabilitasi”. Tampak bahwa frasa ‘presiden selaku kepala negara’ dihapuskan.
Pemberian grasi oleh presiden dapat berupa peringanan atau perubahan jenis pidana, pengurangan jumlah pidana, atau penghapusan pelaksanaan pidana. Namun sebelum membuat keputusan tentang pemberian grasi, presiden harus memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
Advieserende functie
Henry P. Panggabean dalam bukunya Fungsi Mahkamah Agung dalam Praktik Sehari-Hari (2001) menyebut pemberian nasihat hukum atau pertimbangan hukum itu sebagai fungsi penasihat bagi Mahkamah Agung. Advieserende functie ini juga dapat berupa pemberian nasihat hukum kepada lembaga-lembaga negara tertentu.
Menurut Henry, mantan hakim agung, proses penanganan grasi di Mahkamah Agung menganut dua prinsip yaitu pemberian grasi yang berorientasi pada keadilan, dan perlunya mempertimbangkan perubahan situasi. Dalam praktik sehari-hari, tulis Henry, permohonan grasi sangat sulit dikabulkan karena Mahkamah Agung terikat pada kedua prinsip tersebut.
Sayang, tak ada data akurat berapa permohonan grasi yang ditolak. Data grasi dan remisi yang dihimpun Henry pada periode Januari 1999 hingga November 2000 hanya menunjukkan sisa awal tahun 111 perkara, masuk 860, dan diselesaikan 881 perkara. Sehingga pada akhir November 2000, jumlah permohonan grasi dan remisi di Mahkamah Agung tinggal 90 perkara.
Data termutakhir dapat dilihat pada Laporan Tahunan Mahkamah Agung 2011. Sisa awal tahun 10, masuk 64, dan berhasil diputus 57 berkas. Sehingga sisa permohonan remisi memasuki tahun 2012 adalah 17 berkas permohonan. Namun data ini tetap tak menunjukkan berapa yang disetujui dan ditolak. Sangat mungkin karena Mahkamah Agung tak mengetahui keputusan akhir presiden. Mahkamah Agung sebatas mengajukan pertimbangan hukum.
Mengikat atau tak mengikat?
Persetujuan atau penolakan permohonan grasi sepenuhnya berada di tangan presiden. Norma ini tertuang jelas dalam Pasal 4 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi (terakhir diubah dengan UU No. 5 Tahun 2010). Jadi, Mahkamah Agung sebatas memberikan pertimbangan hukum.
Prof. Jimly Asshiddiqie, dalam bukunya ‘Komentar atas Undang-Undang Dasar 1945’ (2009), menulis pertimbangan Mahkamah Agung dimaksudkan agar presiden mendapatkan masukan dari lembaga yang tepat sesuai fungsinya. Sebagai lembaga peradilan tertinggi, Mahkamah Agung ‘adalah lembaga negara paling tepat memberikan pertimbangan kepada presiden mengenai hal itu’ (grasi). Pertimbangan itu juga dimaksudkan agar terjalin saling mengawasi antar lembaga negara.
Lalu menjadi pertanyaan, apakah pertimbangan Mahkamah Agung mengikat (bindend advies) bagi presiden. Tim kuasa hukum Granat berpendapat sebelum mengeluarkan keputusan, presiden wajib memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Namun pertimbangan tersebut tidak mengikat presiden.
Pendapat senada disampaikan Prof. HM Laica Marzuki. “Yang namanya pertimbangan, itu kan diperhatikan presiden, tetapi tentu tidak mengikat,” kata mantan hakim agung itu kepada hukumonline,(12/6).
Mahkamah Agung pun memberikan penjelasan resmi serupa. Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung, Ridwan Mansyur, mengatakan presiden selalu meminta pendapat Mahkamah. Tetapi apa yang disampaikan Mahkamah Agung hanya sebatas pendapat yang sifatnya tidak mengikat. Jadi, terserah presiden untuk memutuskan, mau ikut pendapat Mahkamah Agung atau tidak.
Lagipula, dalam beberapa kasus grasi, presiden bukan hanya mendengar pertimbangan Mahkamah Agung, tetapi juga Jaksa Agung dan Menteri Hukum dan HAM. Contohnya, Keppres No. 22/G Tahun 2003 yang menjawab permohonan grasi terpidana narkotika, Ayodhya Prasad Chaubey. Presiden tak mengabulkan grasi setelah menimbang surat Jaksa Agung, surat Ketua Mahkamah Agung, dan surat Menteri Kehakiman.
Dalam format Keppres pemberian grasi kepada Corby dan Grobmann pun tak disebut apa persisnya pertimbangan Mahkamah Agung. Presiden sama sekali tidak mengemukakan apa dasar pemikiran dan apa pertimbangan Mahkamah Agung untuk mengabulkan permohonan kasasi Corby. Hanya disebut ‘terdapat cukup alasan untuk memberikan grasi kepada terpidana tersebut’.
Penjelasan justru datang dari Mahkamah Agung. Dikatakan Ridwan Mansyur, faktor kemanusiaan menjadi dasar bagi Mahkamah untuk mengusulkan agar Corby diberi grasi. Ada laporan dari Ditjen Pemasyarakatan bahwa Corby sering sakit-sakitan. Mahkamah hanya memberikan pertimbangan singkat. “Biasanya dalam hal pendapat pemberian grasi itu singkat saja, lebih banyak pertimbangan presiden yang digunakan”. Apapun pertimbangan Mahkamah Agung, keputusan akhir tetap ada di tangan Presiden.
Lepas dari persoalan hukum ini, komitmen seluruh pejabat negara terhadap pemberantasan narkotika menjadi ujian. Tak terkecuali Mahkamah Agung. Sebab, Mahkamah Agung pun (seharusnya) punya semangat memberantas narkoba. Seperti tercermin dalam kalimat SEMA No. 3 Tahun 2001: “Hendaknya para hakim menganut satu pendirian, yaitu tekad untuk menjadi barisan terdepan dalam meberantas sampai ke akarnya segala bentuk kejahatan tersebut”