2012-06-12 00:00:00
Apakah Grasi dapat di PTUN kan?
Oleh: Rahmat Setiabudi Sokonagoro, S.H., LL.M., (Hons.) Arb
Legal Drafter - Bagian Hukum Setda Kota Yogyakarta
Kami berasumsi bahwa konteks pertanyaan Anda adalah kasus Keppres grasi Schapelle Leigh Corby. Paling tidak, pertanyaan ini relevan dengan kasus yang kini disengketakan di PTUN Jakarta. Secara formal sejumlah akademisi memang menganggap keppres grasi sebagai objek sengketa Tata Usaha Negara (TUN).
Keputusan Presiden (keppres) adalah beschicking, yakni keputusan pejabat TUN yang dilihat dari Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Keppres grasi dikeluarkan pejabat TUN, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkrit, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Pertanyaan Anda tersurat bukan semata mempersoalkan keppres grasi, melainkan hak prerogatif presiden. Apa sebenarnya yang dimaksud hak prerogatif? Suatu hak disebut prerogatif presiden jika kewenangan yang lahir dari hak itu bersifat khusus yang mandiri. Jadi, ia merupakan sebuah kewenangan mandiri yang dimiliki Presiden (Padmo Wahjono, 1986). Sebelum amandemen UUD 1945, ada banyak kewenangan mandiri yang dimiliki presiden. Tetapi setelah amandemen, kemandirian pelaksanaan wewenang itu menjadi hilang. Salah satunya pemberian grasi.
Menurut Jimly Asshiddqie (2009), pemberian grasi (dan rehabilitasi) berkaitan dengan teknis hukum, berkaitan dengan putusan pengadilan. Sebelum memberikan grasi Presiden harus lebih dahulu memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (MA). Ini juga sejalan dengan norma yang diatur dalam UU No. 22 tahun 2003 tentang Grasi (perubahan terakhir dengan UU No. 5 Tahun 2010).
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah pemberian grasi masih merupakan hak prerogatif presiden? Pada umumnya, doktrin yang berkembang sebelum amandemen UUD 1945 menyepakati bahwa pemberian grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi adalah hak prerogatif presiden.
Pemberian grasi adalah dalam posisi sebagai kepala negara yakni sebagai lambang persatuan dan kesatuan bangsa (Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988). Namun pada dasarnya pembedaan sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan dalam pelaksanaan hak prerogatif sudah tidak relevan lagi dipersoalkan karena dalam praktik sulit dipisahkan (Jimly Asshiddiqie, 2006).
Setelah amandemen UUD 1945, ada perbedaan pandangan yang muncul. M. Fajrul Falaakh (2009) mengatakan hak prerogatif presiden sebagai kepala negara di bidang yudikatif memerlukan pertimbangan MA dengan tujuan agar pemberian grasi tetap sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Selain itu, pertimbangan MA dilaksanakan dalam kaitan dengan fungsi kepenasihatan (advisory function) di bidang hukum yang dimiliki.
Objek yang digugat ke PTUN tentu saja bukan hak prerogatif presiden, melainkan surat keputusan TUN (dalam hal ini keppres). Anda bisa melihat yang dimaksud dengan keputusan pejabat TUN dalam UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (terakhir diubah dengan UU No. 51 Tahun 2009).
Soal apakah secara materiil, keppres pemberian grasi misalnya, boleh di-PTUN-kan atau tidak, tentu saja sangat tergantung pada putusan hakim. Kami belum menemukan satu pun keppres pelaksanaan hak prerogatif presiden yang diatur dalam UUD 1945 (sebelum amandemen) yang digugat ke PTUN dan berhasil.
Berdasarkan praktik selama ini, ada beberapa jenis keppres (Indroharto, 2000), yaitu:
1. Keppres sebagai peraturan pelaksanaan TAP MPR, misalnya Keppres Repelita.
2. Keppres sebagai peraturan pelaksana dari Undang-Undang.
3. Keppres yang berfungsi sebagai dasar hukum bagi presiden untuk melaksanakan wewenang pemerintahannya.
4. Keppres yang berfungsi sebagai peraturan pelaksana UUD 1945 sendiri.
Konteks pertanyaan Anda adalah jenis keempat. Menurut Indroharto, kedudukan keppres jenis ini tampak berdiri sendiri, karena walaupun sumbernya UUD 1945, ia bersifat dan berfungsi material secara khusus pula. Ketetapan yang dibuat berdasarkan keppres ini bersifat konstitutif dan isinya lebih berfungsi sebagai ketetapan yang tidak mengikat secara umum. Indroharto menyebut contoh keppres pengangkatan menteri.
Jadi, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, yang dapat digugat ke PTUN tentu saja bukan hak prerogatif presiden, melainkan surat keputusan TUN (dalam hal ini keputusan presiden) yang didasarkan pada berbagai ketentuan yang telah disebutkan di atas.
Demikian jawaban kami, mudah-mudahan bermanfaat.
REFERENSI
1. Indroharto. Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Buku I). Jakarta: Sinar Harapan, 2000.
2. Jimly Asshiddiqie. Komentar atas Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
3. Jimly Asshiddiqie. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006.
4. Moh. Fajrul Falaakh, ‘Menata Sistem Presidensial’, dalam Zainal Arifin Mochtar dan Saldi Isra (ed). Jalan Berliku Amandemen Konstitusi. Jakarta: Kelompok DPD di MPR, 2009.
5. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, 1988.
6. Padmo Wahyono. Negara Republik Indonesia. Jakarta: Rajawali, 1986.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
2. Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentangPerubahan Kedua atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
3. Undang-Undang No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi.