Selamat Datang Di Website Resmi Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kota Yogyakarta

ARTIKEL

2010-12-09 00:00:00

Banyak Perda Bermasalah Demi Genjot PAD

Banyak Perda Bermasalah Demi Genjot PAD
[16/7/08] (sumber : http://hukumonline.com/) Untuk menaikan pendapatan asli daerah, pemerintah daerah melahirkan perda yang menabrak perundang-undangan. Tak terkecuali perda yang berefek pada kerusakan lingkungan. Ternyata, 53 persen Peraturan Daerah Rancangan Tata Ruang dan Wilayah (Perda RTRW) menyebabkan kerusakan lingkungan hidup. Perda yang mengacu pada UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (kini UU No. 26 Tahun 2007) itu bertentangan dengan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. "Banyak bupati tahu kalau perda itu bermasalah, tapi tetap diajukan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)," ungkap Bomer Pasaribu, anggota Komisi IV DPR, saat menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk "Bedah Perda Bermasalah" di Departemen Hukum dan HAM (Depkumham) Jakarta, Selasa (15/7). Bomer menerangkan kerusakan itu disebabkan adanya alih fungsi hutan. Misalnya alih fungsi hutan lindung menjadi hutan produksi. Ujungnya, hutan produksi yang tidak produktif lagi nantinya diubah menjadi kawasan pemukiman. Bahkan ada daerah yang 85-90 persen wilayahnya adalah hutan lindung, namun oleh pemerintah daerah dibuat perda untuk pembangunan pusat pemerintahan. "Selama statusnya hutan lindung dan kawasan konservasi tidak boleh diubah," tegas Bomer. Dalam Pasal 14 ayat (3) UU Kehutanan disebutkan, pengalihfungsian hutan bisa dilakukan atas izin Menteri Kehutanan (Menhut) dan DPR. Masalahnya, kerap terjadi RTRW dibentuk tanpa izin Menhut dan DPR. "Di atas wilayah hutan itu sudah ada pembangunan, makanya dibuat perda-nya," terang Bomer. Sekalipun ada izin dari Menhut tidak tertutup kemungkinan pengalihfungsian hutan itu bisa bersih. Hingga kini, ada dua kasus alih fungsi hutan berbau suap yang disasar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kedua kasus itu adalah kasus korupsi alih fungsi hutan lindung Pulau Bintan menjadi Bandar Seri Bintan, dan alih fungsi hutan lindung menjadi Pelabuhan Tanjung Api-Api, Kabupaten Banyuasin. Dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dengan terdakwa Sekretaris Pemerintah Daerah Bintan Provinsi Riau, Azirwan, terungkap bahwa Menhut MS Kabaan disebut menerima uang Rp1 miliar. Sementara dana yang digelontorkan untuk anggota Komisi IV mencapai lebih dari SGD470 ribu. Azirwan merupakan pelaku kasus penyuapan anggota Komisi IV DPR Al Amin Nur Nasution. Sulit dibatalkan Perda lain yang juga bermasalah terkait dengan retribusi, APBD, dan pajak. Kepala Biro Hukum Departemen Dalam Negeri (Depdagri) Janirudin menyatakan dari 8.000 perda tentang retribusi, 3.000 diantaranya bermasalah. Misalnya perda yang menentukan retribusi kolam renang sebagai objek tontotan seperti bioskop. Sebanyak 973 perda di antaranya sudah dibatalkan Depdagri. Janirudin mengeluhkan sulitnya membatalkan perda bermasalah itu. Menurutnya, dari 973 perda yang dibatalkan, mayoritas terkait dengan retribusi, APBD, dan pajak. Ada dua faktor kesulitan Depdagri dalam mencabut perda. Pertama biaya tinggi. Janirudin menerangkan pembatalan perda memerlukan ongkos yang cukup besar. Pasalnya, pemerintah mesti memperhitungkan biaya yang telah dikeluarkan pasca-perda terbentuk dan akibatnya pada masyarakat setelah dicabut. Selain itu, perda yang ditetapkan pada 2002 sampai 2004, tidak bisa langsung dicabut. "Jika ada pihak yang melakukan judicial review harus menunggu putusan Mahkamah Agung dulu," terangnya. Akibatnya kans Depdagri untuk mencabut perda sudah lewat waktu. Sri Hariningsih, Staf Ahli Perundang-undangan Sekretariat Jenderal DPR mengurai banyaknya perda yang bertentangan dengan perundang-undangan. Hal ini terjadi lantaran pemerintah daerah bepandangan mandiri. Apalagi sejak era otonomi daerah mencuat di tahun 1999. Padahal, kata Hariningsih, "Sebenarnya itu bagian dari sistem hukum nasional". Sementara Bomer mensinyalir banyaknya perda yang "nyeleneh" disebabkan tidak adanya sanksi terhadap pemerintah daerah yang melahirkan perda tersebut. Padahal UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang sudah jelas menetapkan sanksi bagi si pelanggar. Misalnya, bagi kepala daerah yang terindikasi melanggar dapat dikenakan sanksi adminsitrasi maupun pidana. Begitu pula dengan pihak legislatif. Namun untuk kepala daerah hukumannya ditambah sepertiga dari hukuman yang dijatuhkan majelis hakim.

Pencarian

Polling

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Undefined variable: dt_polling

Filename: views/template.php

Line Number: 229

Rekap Produk Hukum

Jenis Dokumen Jumlah
Instruksi Walikota 54
Peraturan Walikota 1.734
Peraturan Daerah 552
Keputusan Walikota 186

Pengunjung

Jumlah Pengunjung : 10.571.233
Jumlah Kunjungan : 11.573.006
Pengunjung saat ini : 89