Selamat Datang Di Website Resmi Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kota Yogyakarta

ARTIKEL

2010-12-08 00:00:00

UU Kepailitan Versus Hak-Hak Buruh

UU Kepailitan Versus Hak-Hak Buruh
Oleh: Ricardo Simanjuntak,SH.LL.M.ANZIIF.CIP *) [23/5/08] Putusan Mahkamah Konsitusi yang menyatakan tidak dapat menerima permohonan uji materi UU No. 37 Tahun 2004 yang diajukan oleh Komaruddin dan Muhammad Hafiz menyisakan suatu ketidakjelasan substansi permasalahan. Dengan kata lain, menyisakan bias tentang substansi apa sebenarnya yang dimohonkan oleh Ketua Umum dan Sekretaris Umum Federasi Serikat Buruh Indonesia (FISBI) itu ke Mahkamah Konstitusi. Berita tentang putusan Mahkamah Konstitusi itu, semisal di harian Kompas edisi Rabu 7 Mei 2008 dengan judul “Tak Mampu Bayar Ahli, Gugatan Buruh Ditolak” dapat saja membuat orang secara salah memahami bahwa kebenaran yang dimiliki oleh buruh seakan-akan terhalang oleh suatu sistem peradilan yang kompleks dan mahal. Pertanyaan yang mungkin jadi penting adalah apakah ketidakmampuan buruh menghadirkan ahli ke dalam sidang karena memang ahli tersebut menerapkan harga pada ilmunya (dimana secara etika seharusnya seorang ahli tidak boleh menjual keahliannya yang akan dipersaksikannya, karena itu akan membuat ahli sulit untuk independen), atau karena memang sulit bagi buruh tersebut untuk mendapatkan ahli yang akan mendukung dalil-dalil permohonannya. Tanpa bermaksud mengecilkan perasaan dan penderitaan yang dialami oleh buruh terhadap ketidakpastian pemenuhan haknya pasca pailit, penulis secara ilmu, lebih melihat pada kemungkinan yang kedua, karena memang sulit bagi seorang ahli untuk mendukung dalil-dalil gugatan buruh tersebut. Kepailitan merupakan putusan Pengadilan Niaga yang meletakkan seluruh harta dari seorang debitur pailit dalam status sita umum (public attachment). Untuk kemudian oleh kurator – yang diangkat untuk melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit tersebut – akan dijual dan hasilnya akan dibagikan kepada seluruh kreditur berdasarkan dari masing-masing tingkatan hak yang dimilikinya. Dari beberapa jenis tingkatan hak kreditur yang dikenal di Indonesia, maka kreditur yang memegang jaminan kebendaan (yaitu; jaminan berupa Hak Tanggungan, Gadai dan Fidusia) diakui secara tegas sebagai kreditur yang mempunyai hak preferensi eksklusif terhadap jaminan kebendaan yang dimilikinya. Oleh karena itulah, mereka dikenal dengan sebutan kreditur separatis atau secured creditor yang mempunyai hak eksekusi langsung terhadap jaminan kebendaan yang diletakkan oleh debitur kepadanya untuk pelunasan piutang terhadap debitur tersebut. Pemberian kewenangan eksklusif kepada kreditur separatis tersebut merupakan suatu prinsip hukum yang telah lama berlaku di Indonesia dan pada prinsipnya dianut oleh juga hampir di seluruh dunia. Prinsip itu bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pemilik modal (secara khusus bank) dalam memberikan pinjaman atau membiayai aktivitas komersial debitur. Dalam hukum Indonesia, hak separatis dan kewenangan eksekutorial tersebut telah secara tegas diperkenalkan dalam pasal 1133 dan pasal 1178 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH. Perdata). Kemudian secara lebih khusus telah dijabarkan secara jelas dalam masing-masing pasal 6 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, pasal 15 ayat (3) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dan pasal 1155 Kitab KUH. Perdata yang mengatur masalah gadai . Dengan pengertian lain bahwa pasal 55 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang mengatur tentang hak eksekutorial dari kreditur separatis, bukanlah pasal yang asal hadir. Ia merupakan pelaksanaan dari hak eksekutorial yang telah dengan tegas diatur dalam UU Hak Tanggungan, UU Jaminan Fidusia dan aturan tentang gadai seperti telah dijelaskan di atas. Sehingga secara teknis hukum, permohonan pembatalan pasal 55 ayat (1) tersebut sama saja dengan permohonan pembatalan seluruh Undang-undang Kepailitan. Aturan tadi dihadapkan dengan hak istimewa yang dimiliki oleh buruh berdasarkan pasal 9 ayat (4) UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU. Ketenagakerjaan”) yang mengatur sebagai berikut ; “dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya”. Sebenarnya merupakan suatu langkah peningkatan hak buruh dari kedudukan yang lebih rendah yang dimilikinya sebelumnya berdasarkan pasal 1149 KUH Perdata. Peningkatan hak tersebut memang diperbolehkan berdasarkan pasal 1134 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan sebagai berikut: ”Hak istimewa ialah suatu hak yang undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi dari pada orang berpitang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya”. Akan tetapi harus pula diingat bahwa pemberian hak untuk didahulukan seperti yang diatur dalam pasal 9 ayat 4 UU Ketenagakerjaan tidak dapat diartikan sebagai hak yang lebih tinggi dari hak kreditur separatis. Sebab, pasal 1134 ayat (2) KUH Perdata juga telah secara tegas juga mengatur sebagai berikut;” Gadai dan Hipotik adalah lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal-hal dimana ditentukan oleh undang-undang sebaliknya.” Jelas bahwa hak istimewa yang diatur dalam pasal 9 ayat (4) UU Ketenagakerjaan tidak mengatur bahwa hak buruh lebih tinggi dari hak separatis. Artinya bahwa hak istimewa dari buruh adalah untuk mendapatkan pembayaran dari harta-harta debitur pailit yang belum dijaminkan. Dengan sama sekali tidak bermaksud mengabaikan perlindungan terhadap hak-hak buruh, alasan untuk melakukan perlindungan hak-hak buruh dalam kasus ini haruslah pula diterjemahkan sejalan dengan perlindungan hak-hak dari kreditur separatis. Karena hak kreditur separatis juga telah secara tegas diatur dalam undang-undang. Bila hak-hak kreditur separatis dikorbankan untuk kepentingan buruh seperti yang dimaksudkan dalam permohonan uji materi UU Kepailitan, maka akan sangat menimbulkan potensi permasalahan yang lebih besar. Akan terjadi ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan lembaga hukum penjaminan di Indonesia. Konsekuensinya jelas, hal itu akan berdampak buruk pada aktivitas bisnis di Indonesia. Tidak ada Bank yang akan berani memberikan pinjaman tanpa adanya suatu jaminan (collateral) sebagai salah satu persyaratan penting dari penerapan azas prudential banking yang diatur dalam UU. Perbankan. Demikian juga halnya terhadap para investor ataupun fasilitator-fasilitator bisnis dan keuangan baik dalam negeri apalagi luar negeri, akan sangat enggan untuk berbisnis di Indonesia sehingga akan memberikan akibat yang sangat buruk bagi perkembangan aktivitas bisnis, yang pada akhirnya akan sangat berhubungan dengan penyerapan tenaga kerja atau buruh di Indonesia. Memang Kepailitan ataupun pembubaran suatu perusahaan akan berdampak buruk terhadap perlindungan hak dan masa depan dari para pekerjanya. Akan tetapi, upaya untuk mengatasinya akan lebih baik dilakukan dengan secara serius membangun lembaga penjaminan ataupun asuransi yang menjamin kepastian hak-hak dari buruh tersebut untuk dibayar dalam hal perusahaan tempatnya bekerja di pailitkan, daripada harus menghancurkan lembaga penjaminan yang telah menjadi bagian pembanguan lingkungan berbisnis yang baik di Indonesia. ------- *) Penulis adalah Ketua Umum Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI). (Dikutip dari http://hukumonline.com/detail.asp?id=19305&cl=Kolom )

Pencarian

Polling

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Undefined variable: dt_polling

Filename: views/template.php

Line Number: 229

Rekap Produk Hukum

Jenis Dokumen Jumlah
Instruksi Walikota 54
Peraturan Walikota 1.734
Peraturan Daerah 552
Keputusan Walikota 186

Pengunjung

Jumlah Pengunjung : 10.571.212
Jumlah Kunjungan : 11.572.985
Pengunjung saat ini : 89