Selamat Datang Di Website Resmi Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kota Yogyakarta

ARTIKEL

2010-12-03 00:00:00

Splitsing Memungkinkan Pelanggaran Azas Hukum

Splitsing Memungkinkan Pelanggaran Azas Hukum
Meski KUHAP membolehkan jaksa memisahkan berkas perkara. Namun prakteknya berpotensi terjadi pelanggaran azas hukum dalam proses pembuktian. Dugaan korupsi dalam proyek pengadaan mobil pemadam kebakaran melibatkan banyak kepala daerah. Namun hingga saat ini, yang duduk di kursi terdakwa baru HB Amiruddin Maula, mantan Walikota Makassar. Mengapa hanya Maula yang diseret ke Pengadilan Tipikor? Pertanyaan itulah yang diajukan pengacaranya. Tim pengacara percaya perbuatan korupsi itu, kalaupun benar, dilakukan bersama-sama dengan orang lain. Jaksa semestinya juga mencantumkan keterlibatan orang lain itu dalam berkas perkara. “Berkas perkara harus disempurnakan sampai jelas pelaku-pelakunya baik plegen, medeplegen, doenpleger, uitlokker,” HM Taufan Pawe, ketika membacakan pembelaan atas Maula. Pernyataan Taufan membuka kembali dasar di balik pemisahan berkas untuk perkara yang sama. Pemisahan perkara (splitsing) sudah sering ditemukan, termasuk di Pengadilan Tipikor. Biasanya pemisahan itu dikualifikasi dari kualitas pelaku, yaitu rekanan dan pejabat negara. Sementara pasal yang dibidik kepada pelaku, biasanya sama. Pasal langganan yang kerap dituding kepada terdakwa adalah Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Korupsi. Pada prinsipnya, menurut hukum acara pidana splitsing kasus adalah hak jaksa. Pemisahan itu dapat dilakukan jika jaksa menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana. Kejahatan itu juga melibatkan beberapa orang tersangka. Dengan kata lain, lebih dari satu perbuatan dan pelaku. “Splitsing bisa dilakukan karena peran masing-masing terdakwa berbeda. Selain peran, bisa juga dilihat dari locusnya,” jelas Totok Bambang, seorang jaksa. Menurut M. Yahya Harahap, pakar hukum acara, pemisahan berkas perkara bukan tren yang muncul belakangan. Sejak zaman HIR, itu sudah lazim dipraktekkan di pengadilan. “Pada masa lalu, tujuan memecah perkara itu terkait karena kurangnya saksi. Sehingga untuk mencukupi saksi sebagai alat bukti, berkas dipecah,” ujarnya. Meskipun berkas dipisah, kalau perbuatannya dilakukan bersama-sama dengan orang lain, jaksa di Pengadilan Tipikor tetap menjerat para pelaku dengan pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang penyertaan. Nah, hakim acapkali berbeda pandangan dalam melihat peran dari masing-masing terdakwa. Bahkan kerugian negara yang diakibatkan perbuatan pidana tersebut pun bisa tidak sama. Sebut saja perkara korupsi Automatic Fingerprint Identification System (AFIS) yang diputus beberapa hari lalu. Perkara AFIS ini dibagi menjadi dua berkas. Pertama dakwaan kepada Eman Rachman, Direktur PT Sentral Filindo yang menjadi rekanan dalam pengadaan alat AFIS. Berkas kedua menyangkut Zulkarnain Yunus dan Apendi. Mereka adalah mantan Sekjen Departemen Hukum dan HAM (Depkumham) dan Kepala Bagian Rumah Tangga Dirjen Administrasi Hukum Umum. Majelis hakim dalam kedua perkara itu pun berbeda. Perkara Eman dipimpin oleh hakim Moerdiono. Sedang perkara Zulkarnain dan Apendi dipimpin oleh hakim Moefri. Rambut boleh sama, putusan bisa beda. Pada akhirnya putusan yang dijatuhkan kedua majelis memang berbeda. Eman selaku rekanan dituding melakukan perbuatan melawan hukum alias melanggar Pasal 2 ayat (1) UU Korupsi. Eman terbukti sebagai medepleger (turut serta) bersama Zulkarnain dan Apendi. Sementara Zulkarnain dan Apendi terbukti menyalahgunakan wewenang. Tidak jelas kualifikasi deelnemingnya (penyertaan). Ujung-ujungnya aktor intelektual kasus AFIS belum terungkap. Hal serupa juga terjadi dalam kasus korupsi busway yang melibatkan Rustam Effendi Sidabutar (Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta) dan Sylvira Ananda (Pimpro Busway). Keduanya diputus bersalah menyalahgunakan jabatan. Sementara rekanannya, Budi Susanto, mantan Direktur Utama PT Armada Usaha Bersama dituding melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara. Begitu pula dalam kasus korupsi penerbitan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) di Kalimantan Timur. Kasus yang dibagi menjadi empat berkas ini bahkan berbeda soal perhitungan kerugian negara. Dalam tingkat banding, kasus penerbitan IPK yang melibatkan Suwarna Abdul Fatah, Gubernur Kaltim non-aktif, putusan pengadilan Tipikor tingkat pertama dibatalkan. Menurut majelis hakim banding, putusan itu salah dalam menerapkan hukum. Putusan itu dikoreksi dan Suwarna juga dikenakan Pasal 2 ayat (1) seperti rekanannya, Marthias alias Pung Kian Hwa. Padahal jika mengacu pada ketentuan Pasal 142 KUHAP, pemisahan perkara itu harus terdiri dari beberapa tindak pidana yang berbeda. Namun dilakukan oleh beberapa orang dalam waktu yang sama. Apalagi, biasanya ada terdakwa baru dalam kasus yang sama diajukan ke pengadilan setelah ada putusan dengan terdakwa lain. Otomatis terdakwa baru itu pasti dihukum. Sebab dalam putusan itu, terdakwa lama sudah dinyatakan melakukan tindak pidana bersama-sama dengan terdakwa baru. Di satu sisi splitsing perkara memang dibenarkan oleh undang-undang. Namun disisi lain, pemisahan itu kerap menimbulkan masalah. Berdasarkan wawancara hukumonline kepada ahli hukum, ada tiga problem yang mencuat dalam pemisahan perkara. Pertama perbedaan penerapan hukum, pelanggaran azas non self incrimination dan praduga tak bersalah dan kaburnya unsur deelneming. Deelneming Menurut ahli hukum acara pidana, Chairul Huda splitsing di Pengadilan Tipikor tidak tepat. “Bahkan bisa menutup siapa pelaku utamanya,” tegasnya. Sebab, lanjutnya, pemisahan perkara menyebabkan unsur penyertaan tidak terbukti. Pasalnya, penentuan siapa pelaku (pleger) dan medepleger (turut serta) tidak jelas. Padahal, unsur penyertaan itu harus dibuktikan karena itu merupakan unsur delik. Jika tidak dibuktikan, berarti unsur dakwaan tidak terbukti. Hal senada juga disampaikan oleh Rudy Satrio, ahli hukum pidana Universitas Indonesia. Ia menjelaskan splitsing dapat menyulitkan jaksa dalam membuktikan hubungan pelaku satu dengan pelaku lainnya. Pasalnya, dalam tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang otomatis diperlukan pembuktian antara pelaku. “Kalau perkaranya di-split bagaimana bisa mengetahui hubungan antar pelaku,” terangnya. Akibat penentuan kualitas deelneming (penyertaan) yang tidak jelas mengakibatkan perbedaan penerapan hukum. Padahal tidak mungkin terbukti unsur penyertaan jika tindak pidana yang dilakukan berbeda. “Kalau tidak sama, turut serta dalam melakukan apa ? Kalau pasalnya beda tidak bisa dikatakan deelneming, red),” terang Rudi. Chairul menerangkan semua atau salah satu unsur yang ada dalam dakwaan harus dilaksanakan secara bersama-sama. “Kalau dia didakwa sendiri bagaimana membuktikan bersama-samanya,” tandasnya. Terdakwa tunggal itu tidak mungkin terbukti melakukan tindak pidana bersama-sama orang lain. Menurutnya dosen Universitas Muhammadiyah itu, inkonsitensi penerapan pasal menunjukan adanya dua delik yang berbeda. Padahal didakwa melakukan deelneming. “Menunjukan ketidaktepatan dalam menerapkan pasal,” terangnya. Azas Nonself Incrimination Konsekuensi lain dari splitsing, para pelaku harus saling bersaksi dalam perkara masing-masing. Dalam satu perkara pelaku memiliki dua kedudukan, baik sebagai saksi maupun terdakwa. Akibatnya timbul saksi mahkota. Menurut Chairul, itu tidak bisa dibenarkan. Karena dalam memberikan keterangan saksi harus disumpah. Artinya dia tidak boleh bohong. Sementara, dalam kapasitas terdakwa, pelaku tidak disumpah. Ia punya hak ingkar. “Artinya dia boleh bohong,” terang Chairul. Kondisi itu, kata Chairul, sangat tidak adil bagi terdakwa. Sementara, tujuan dari penegakan hukum, tidak hanya menegakan hukum, tapi juga keadilan. Padahal, terdakwa tidak boleh dipersalahkan atas keterangannya. Apalagi, keterangan yang diberikan besar kemungkinan menunjukan kesalahan dia dalam kasus tersebut. “Dia mengatakan hal yang membenarkan kesalahannya,” terang Rudi. Disisi lain, hal ini kerap dijadikan petunjuk bagi hakim dalam menangani kasus pelaku itu sendiri. Padahal selaku terdakwa ia memiliki hak ingkar. Chairul menambahkan praktek saksi mahkota mengakibatkan pengadilan tidak dilaksanakan tidak berdasarkan hukum acara (due proecss of law). “Itu bisa dijadikan alasan kasasi dan banding,” terangnya. Terkait dengan penyusulan terdakwa baru, Rudi menyatakan hal itu melanggar azas praduga tak bersalah. Sebab pemeriksaan di muka persidangan belum selesai. Namun dengan putusan terdakwa lama ia sudah dinyatakan bersalah. Artinya pemeriksaan itu hanya formalitas saja. Menurut Rudi, pemisahan itu bisa dilakukan dalam hal kekurangan alat bukti. Misalnya dalam kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh beberapa orang. Tidak ada yang bisa dijadikan saksi kecuali para pelaku dan korban. Dalam hal ini diantara pelaku itu akan dijadikan sebagai saksi. Pemisahan juga bisa dilakukan kualitas peran yang berbeda. Dengan catatan ada perbedaan ketentuan hukum yang dilanggar. “Harus bisa dilihat apakah terdakwa itu memenuhi kualitas dari delik yang didakwakan,” terang Chairul. Misalnya antara penyuap dan pejabat yang menerima suap. sumber dari : hukumonline.com

Pencarian

Polling

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Undefined variable: dt_polling

Filename: views/template.php

Line Number: 229

Rekap Produk Hukum

Jenis Dokumen Jumlah
Instruksi Walikota 54
Peraturan Walikota 1.734
Peraturan Daerah 552
Keputusan Walikota 186

Pengunjung

Jumlah Pengunjung : 10.551.754
Jumlah Kunjungan : 11.553.527
Pengunjung saat ini : 57