2010-11-26 00:00:00
Menanti APBD berbasis Partisipasi Masyarakat
Seiring dengan dengan terbitnya paket Undang-undang Keuangan Negara, maka ada beberapa hal yang menjadi perbedaan dengan Undang-undang sebelumnya. Perbedaan tersebut antara laian: 1. Mengatur kewenangan para pejabat perebendaharaan sesuai dengan tanggung jawab yang seharusnya dimiliki oleh masing-masing 2. Mnedorong pelaksanaan pengelolaan anggaran menjadi lebih transparan 3. Mendorong Akuntabilitas pengelolaan anggaran sesuai standar yang diharapakn 4. Mengacu pada manual GFS yang diterbitkan oleh IMF2 Dengan demikian, dalam Undang-undang keuangan negara secara tegas memisahkan antara kewenangan administratif dan kewenangan kompatibel/perbendaharaan. Artinya secara administratif yaitu kewenangan untuk mengambil keputusan yang dapat mengakibatkan terjadinya pengeluaran negara yang telah tersedia dananya dalam (APBN/APBD) berada ditangan pimpinan Departemen/Lembaga teknis selaku pejabat Pengguna Anggaran. Sedangkan kewenangan kompatibel/perbendaharaan untuk memutuskan apakah pengeluaran tersebut dapat atau tidak dapat dibayarkan, berada di tangan Menteri Keuangan selaku Bendahara umum Negara. Model atau sistem ini tentu mengandung artinya menjamin terselenggaranya mekanisme chek and balance sesuai dengan pratek yang sehat (sound-practice) dalam pengelolaan keuangan negara secara universal. Dalam model atau sistem ini, partisipasi masyarakat diperlukan agar tercapainya tujuan universal tersebut. Dalam Undang-undang Keuangan Negara secara tegas dinyatakan perlunya partisipasi masyarakat dalam menyusun setiap tahap pengelolaan Keuangan Negara. Lihat saja, masyarakat wajib dilibatkan dari penyusunan perencanaan Nasional/Daerah. Undang-undang ini mengatur dalam menyusun perencanaan strategis Nasional/daerah oleh Dewan Perencanaan Nasional/Daerah beranggotakan unsure-unsur Pemerintah dan masyarakat.. Ada beberapa hal yang harus dijalankan untuk memenuhi prinsip legalitas, efesiensi, kehematan, efektivitas, manfaat, transparansi, akuntabilitas, keadilan dan kepatutan, otorisasi parlemen dan universalitas yaitu; 1. Keuangan negara harus dikelola secara tertib, taat pada peraturan Perundang-undangan, efesien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggungjawab dengan memperhatikan keadilan dan kepatutan 2. Anggaran negara/daerah, Perubahan anggaran dan perhitungan Anggaran ditetapkan dengan Perundang-undangan 3. Anggaran mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, Alokasi, distribusi dan stabilisasi 4. Semua penerimaan dan pengeluaran negara/daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukan dalam Anggaran Negara/Daerah 5. Penerimaan Negara yang tidak habis digunakan dalam tahun anggaran yang bersangkutan, dapat dipergunakan untuk membiayai Anggaran Belanja tahun berikutnya 6. Penggunaan surplus penerimaan Negara harus melalui persetujuan Lembaga Legislatif Untuk mengupayakan keselarasan pengelolaan keuangan Negara, pengelolaan keuangan daerah mutatis mutandis dengan prinsip yang berlaku dalam pengelolaan keuangan Negara. Kepentingan Rakyat sebagai Basis APBD Dalam pengelolaan keuangan Negara, maka sudah sepatutnya rakyat mendapatkan porsi utama dalam penyusunan Anggaran Negara baik APBN maupun APBD. Mengapa rakyat perlu mendapatkan perhatian khusus dan porsi utama dalam penyusunan APBN/APBD?. Ada beberapa alasan rakyat berhak terlibat dan mendapatkan porsi alokasi anggaran yang rasional dan proposional dari APBD yaitu; 1. Rakyat merupakan penyumbang utama sunber penerimaan dalam APBD melalui pajak dan Retribusi, bahkan sumber penerimaan yang berasal dari hutang pun, kebutuhan rakyat jualah yang dipresentasikan pada pihak ketiga 2. Sesuai hakekat dan fungsi Anggaran, rakyat merupakan tujuan utama yang akan disejahterakan 3. Amanah Konstitusi pasal 23 UUD, dengan jelas dan tegas dinyatakan bahwa rakyat berhak untuk ikut dalam penyusunan dan pengambilan keputusan Anggaran. Hal ini diperkuat dengan Undang-undang Keuangan Negarta dan Kepmendagri Implementasi hak rakyat dalam APBD bisa dilakukan dalam berbagai bentuk. Pemerintah daerah sebagai pemegang kuasa pengelolaan Keuangan Negara/daerah harus mengimplementasikan hak rakyat tersebut melalui: 1. adanya keterlibatan rakyat secara partisipatif dalam proses penganggaran. Teknis pelaksanaannya bisa menggunakan beberapa model atau melakukan kreasi dari berbagai model yang telah dikembangkan oleh banyak negara. Tentu saja, kreatifitas ini perlu didukung oleh iklim demokrasi yang substantif liberatif. Selama ini, partisipasi hanya menjadi jargon pemerintah, metode dan implementasi partisipasi hanya berjalan dalam lingkungan masyarakat yang “dekat“ dengan Pemerintah. Sementara, dengan kelompok masyarakat yang kritis dan “jauh“ dengan Pemerintah, dijadikan formalitas belaka dan masukan serta hasil kajian mereka selalu dikesampingkan. Memang, partisipasi tidak dapat dilakukan pada orang perorang atau semua kelompok, karena keterbatasan pemerintah. Tetapi, semestinya pemerintah harus memiliki sebuah kriteria yang jelas dalam pelibatan publik. Kriteria ini harus didukung oleh metodelogi yang tepat sehingga tidak terjebak pada inefesiensi. Metodelogi mengalang partisipasi ini, yang tidak dimiliki oleh pemerintah. Mereka hanya mengikuti secara tektual apa yang tertulis di UU, Kepmendagri. Sangatlah naif, mengharapkan hasil yang efektif jika partisipasi dibangun melalui RT, RW, Dewan Kelurahan, dan Badan Perwakilan Desa. Karena hampir seluruh badan tersebut dipilih dengan intervensi pemerintah. Sehingga, badan-badan tersebut tidak bisa merumuskan kebutuhan warganya. Perlu kearifan menyusun metodelogi agar partisipasi masyarakat bisa efektif untuk kepentingan bersama. 2. Adanya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan maupun pertanggungjawaban APBD pada Rakyat. Selama ini, mekanisme pertanggungjawaban dilakukan melalui saluran formal Lembaga Legislatif (DPRD). Jika ingin membangun transparansi maka harus dimulai dari para pihak yang akan terlibat dari proses tersebut. Dengan tidak mengkerdilkan peran DPRD dalam proses transparansi dan Akuntabilitas APBD, tetapi Lembaga ini juga menjadi sorotan dalam transparansi dan Akuntabilitas. Bagaimana bisa berharap pada DPRD, yang dalam banyak kasus korupsi APBD mereka juga terlibat bahkan terkadang menjadi inisiator. Perlu kiranya Pemerintah merancang sebuah model transparansi dan akuntabilitas APBD selain melalui saluran formal (DPRD) bisa dilakukan melalui saluran informal langsung pada masyarakat. Tentu, model ini harus dikaji dan dipertimbangkan dengan matang sehingga bisa efektif dan sesuai dengan sumber daya yang dimiliki. 3. Adanya Hak untuk alokasi anggaran yang pro Rakyat miskin. Keadilan dan kesejahteraan adalah tujuan utama dari sebuah negara kesejahteraan. Indonesia telah mengproklamirkan diri sebagai negara kesejahteraan. Artinya keberpihakan pada kaum lemah dan miskin menjadi prioritas dalam pembangunan yang dilakukan. Namun sayangnya, doktrin tersebut belum berwujud, masih sebagatas angan-angan. Memang, banyak kendala untuk memuwujudkan tujuan tersebut, perlu didukung oleh infrastruktur dan suprastruktur yang memadai. Tetapi, langkah menuju kearah tujuan tersebut, sampai sekarang tampaknya masih jauh dari harapan. Lihat saja, Anggaran Negara (APBN/APBN), masih lebih besar mensubsidi kepenting kelompok pengusaha. Subsisdi BBm dicabut, dialihkan pada subsidi langsung atau bentuk lain seperti Pendidikan dan Kesehatan. Tetapi saat yang sama, pemerintah memberikan subsisdi dana rerkap Perbankan yang sangat fantastis, itu saja belum cukup, masih ada subsidi dalam bentuk lain, misalnya menaikkan suku Bank Indonesia, tax holiday, penjaminan Reksadana dll. Sungguh, ini luar biasa dibandingkan dengan subsidi untuk rakyat miskin yang selama ini dikampanyekan oleh Pemerintahan SBY 4. Adanya pengawasan APBN/D oleh rakyat baik secara perseorangan maupun secara Lembaga atau kelompok. Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat ini semestinya mendapat apresiasi positif dari pemerintah. Caranya adalah memberikan akses seluas-luasnya pada masyarakat untuk mendapatkan informasi, data dan segala sesuatu yang berkaitan dengan pengelolaan APBN/D. Kualitas Partisipasi Masyarakat Partisipasi masyarakat paska reformasi sangat akrab ditelinga kita. Kosa kata ini menjadi perbincangan dibanyak kalangan, mulai dari penyelenggara negara sampai kedai-kedai kopi jauh dipelosok negeri ini. Persoalan yang menyangkut partisipasi hanya sebtas wacana tanpa ketahuan seperti apa bentuk dan implementasinya. Semua aparat negara mengerti dan faham betul bagaimana sebuah kebijakan termasuk APBD harus disusun melalui sebuah proses yang partisipatif. Jika kita bertanya pada pengelola negara maka jawabanya adalah semuanya sudah melalui proses konsultasi publik sebagai bentuk partisipasi. Tanpa dapat diukur berapa besaran tingkat partisipasi yang dilakukan berdampak pada kebijakan yang diterbitkan, sehingga memberikan impact yang sangat signifikan pada peningkatan kesejahteraan dan rasa keadilan. Jika sudah demikian maka dalihnya adalah kualitas partisipasi, pilihan kelompok masyarakat dan keterbatasan yang dimiliki oleh pemerintah. Sebuah survey yang dinamakan Public Integrity Index, sebuah scorecard kuantitatif mengenai Government practices di berbagai negara, menempatkan Indonesia sebagai negara yang “lemah� (Weak) bersama Kenya, Nambia, Nicaragua, Nigeria, Panama, Russia, Turkey, Ukraine dan India3. Laporan ini dikeluarkan oleh Global Integrity/ The Centre For Public Integrity yang berkedudukan di Washington DC. Survey dilakukan di 25 negara sebagai centerpiece dari laporan investigasi di negara yang disurvey. Index ini secara umum memang melihat bagaimana upaya yang dilakukan oleh negara dalam memerangi korupsi. Namun, survey ini juga menggambarkan bagaimana ketersediaan dan keberdayaan Lembaga dan prakyik di sebuah negara yang dapat dipergunakan oleh warganya untuk mendorong akuntabilitas pemerintah terhadap kepentingan publik. Indek tidak mengukur korupsi itu sendiri, melainkan mengukur tingkat kemampuan warga negara untuk mendorong keterbukaan dan akuntabilitas pemerintah. Indicator-indikatornya daalah sebuah checklist mengenai langkah-langkah yang bisa digunakan pemerintah untuk meningkatkan anti-coirruption reforms. Lebih jauh memperhatikan detail Integrity scorecard untuk Indonesia, ada hal-hal menarik mengenai kemampuan dan praktik yang kita miliki untuk memerangi korupsi. Hasilnya ditulis, untuk kategori “civil Society, Public Information and Media�, skor bagi Indonesia cukup baik (moderate). Ini dikarenakan kita memiliki civil society organizations dan freedom of the media yang kuat (strong), namun ironisnya access to information of law sangat lemah (very weak). Dalam kategori “electoral and political Processes�, skor untuk Indonesia juga lumayan baik (moderate). Dalam laporan tersebut ditulis bahwa, Indonesia memiliki proses national elections yang sangat kuat (very strong) ditambah dengan election monitoring agency yang juga sangat kuat (Very strong). Problemnya adalah pada political party finances yang sangat lemah (very weak). Untuk kategori Branches of Government, skor Indonesia adalah Weak. Ini dikarenakan executive dan legislature sama-sama lemah weak), plus lembaga judiciary yang dinilai sangat lemah (very weak). Untuk kategori administrationand civil service, skor Indonesia sangat lemah (very weak). Hal ini disebabkan civil servive regulation, whistle-blowing measures dan privatization sangat lemah (very weak), meskipun masalah procurement dinilai moderate. Indonesia dinilai Kuat (strong) dalam kategori oversight and Regulatory mechanism. Ini dikarenakan national ombudsman dan supreme audit institution yang dianggap sangat kuat (very strong), juga karena financial sector regulation yang dinilai kuat (strong). Masalahnya terletak pada taxes and customs yang mendapat penilaian lemah (weak). Namun skor sangat lemah (very weak) kembali diberikan pada Indonesia pada kategori anti-corruption mechanism and rule of law. Ini karenakan anti-corruption law dan law enforcement dinilai sangat lemah (very weak), dan anti-corruption agency dan rule of law and access to justice dinilai lemah (weak). Jika melihat hasil indek tadi, terlihat adanya kepentingan public di satu sisi dengan pengelolaan pemerintahan di sisi yang lain. Artinya dari kepentingan public sangat besar keinginan dan dorongan publik guna dipenuhinya keterbukaan dan akuntabilitas pemerintahan. Sayangnya, kehendak tersebut tidak mendapat jawaban yang memadai dari masyarakat politik (parpol, DPR/D) dan pengelola pemerintahan. Kondisi ini tentu menjadi semakin runyam bak benang kusut ketika hukum dan penegakkannya sangat lemah. Hukum dan aparatusnya tidak mendukung, apalagi melindungi, desakan kepentingan publik atas pemerintahan yang terbuka dan akuntabel. Dalam kompleksitas masalah seperti ini tidak mengherankan kebijakan termasuk APBD tidak memberikan ruang partisipasi pada publik. Sehingga, the cycle of corruption terus berlanjut dan para pelakunya selalu menikmati impunity. Jika kita melakukan refleksi dari Global Integrity ini, maka ada beberapa hal yang menjadi persoalan yang perlu segera didiskusikan pemecahannya yaitu: 1. Masalah kita bukan paa rendahnya kualitas dan kuantitas tingkat partisipasi civil society. Global Integrity memperlihatkan betapa kuatnya tingkat partisipasi civil society yang direpresentasikan oleh NGO, Media dan masyarakat bisnis. 2. Masalah kita tidak terletak pada ketertututpan mekanisme politik bagi keterlibatan warga negara dalam menuntut akuntabilitas dan keterbukaan. Hambatan utama kita dalam mengupayakan pemerintahan yang terbuka dan akuntabel adalah justru institusi-institusi dan praktik pemerintahan. Seperti yang diperlihatkan oleh hasil Global Integrity tadi, institusi-institusi pemerintahan tidak menjawab desakan kepentingan publik. Yang justru terjadi, saya kira, institusi-institusi tersebut (lembaga, Undang-undang, peraturan, dll) cenderung memiliki kepentingan sendiri yang terasing dan berbeda dari kepentingan publik Sehingga pratik korupsi trerjadi, dalam sebuah mekanisme saling melkindungi yang sampai hari ini belum dapat disentuh oleh tuntutan keterbukaan dan akuntabilitas. Pertanyaannya ditengah kuatanya arus partisipasi masyarakat dan peneyelenggaraan mekanisme politik demokratik, yang memungkinkan warga negara secara langsung menyatakan pikiran dan kehendaknya, berapa lama lagi Institusi-institusi Negara tersebut “kepala batu�? Sumber : Solusihukum.com