2010-11-20 00:00:00
Macet, Penanganan Perkara Korupsi di daerah
Pernyataan Pers Bersama Koalisi Nasional LSM Anti Korupsi MACET, PENANGANAN PERKARA KORUPSI DI DAERAH Memasuki masa 2 (dua) tahun agenda pemberantasan korupsi, Indonesia dinobatkan oleh Transparency International (TI) berada pada posisi 130, dari 163 negara terkorup di dunia. Dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2006 ini, skor Indonesia hanya 2,4 atau naik 0,2 dari 2,2 pada tahun sebelumnya. Posisi ini menegaskan bahwa Indonesia tidak lebih baik dari negara-negara benua Afrika seperti Togo, Burundi, Etiopia, Republik Afrika Tengah, Zimbabwe dan negara tetangga, Papua Nugini yang juga bersama-sama dengan Indonesia menempati urutan 130. Ini artinya, pemberantasan korupsi belum mencapai sasaran yang ingin dicapai. Menurut Taufiequrrachman Ruki, Ketua KPK menanggapi hasil survey tersebut: “skor itu sangat menyedihkan. Kenaikan indeks sangat lambat. Itu artinya pelayanan publik di negara kita masih buruk, pencegahan korupsi masih jalan di tempat, dan Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang percepatan pemberantasan korupsi hanya menjadi dokumen yang tersimpan rapi di atas meja.� Sebenarnya agenda pemberantasan korupsi Pemerintah SBY secara operasional telah dijabarkan dalam Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK). Agenda ini didesain oleh lintas instansi pemerintah dengan melibatkan NGO untuk menunjukan bahwa partisipasi semua pihak telah diirancang. RAN-PK sendiri implementasinya bersifat gradual, dari aksi jangka pendek, menengah dan panjang yang meliputi wilayah pemberantasan korupsi di bidang penegakan hukum dan pencegahan korupsi dalam kurun waktu 5 tahun. Meskipun RAN-PK sudah berjalan kurang lebih satu tahun, agaknya belum tampak kebijakan operasional yang mendukung pemberantasan korupsi di masing-masing instansi pemerintah. Bahkan yang justru kelihatan adalah gejala pengabaian terhadap instruksi dan agenda pemberantasan korupsi yang telah dicanangkan Pemerintah SBY yang tidak hanya ditunjukan oleh miskinnya inisiatif dari para pembantu presiden di tingkat kabinet, namun juga meluas hingga ke pejabat publik di tingkat lokal, baik yang duduk di jajaran birokrasi pemerintahan maupun aparat penegak hukumnya. Khususnya aparat penegak hukum, penanganan perkara-perkara korupsi di berbagai daerah kelihatannya menunjukan perkembangan cukup bagus. Ditetapkannya banyak tersangka korupsi oleh Kejaksaan maupun Kepolisian paling kurang menggambarkan adanya kemauan untuk memberantas korupsi secara lebih serius. Namun demikian, keluhan masyarakat bahwa aparat penegak hukum lamban dalam menangani perkara-perkara korupsi juga tidak dapat diabaikan begitu saja. Kesangsian masyarakat bahwa aparat penegak hukum serius dalam menangani korupsi bukan tanpa alasan. Setidaknya dalam perkembangan terakhir, beberapa hal telah menjadi persoalan cukup mengkhawatirkan, khususnya yang melingkupi institusi Kejaksaan dan Kepolisian. Pertama, banyak kasus korupsi yang diendapkan/diambangkan. Berdasarkan data 15 Lembaga Pemantau Korupsi dari berbagai daerah tercatat bahwa selama kurun waktu 2004-2006, sedikitnya 246 kasus korupsi tidak jelas penanganannya. Ada kesan aparat Kepolisian dan Kejaksaan sengaja untuk menunda-nunda proses hukum tanpa ada batas akhir penyelesaian -khususnya yang melibatkan pejabat publik di daerah- karena strategi ini jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan mengeluarkan SP3 misalnya. Kedua, terdapat indikasi yang kuat bahwa penanganan perkara korupsi diwarnai dengan praktek korupsi. Keluhan dari para mantan dan anggota DPRD yang menjadi tersangka korupsi APBD bahwa mereka kerap diperas oleh aparat Kejaksaan dan Kepolisian menegaskan bahwa praktek korupsi dalam pemberantasan korupsi bukanlah isapan jempol belaka. Kultur dan watak aparat penegak hukum yang tak segan-segan menggadaikan kasus untuk keuntungan pribadi mencerminkan bahwa reformasi hukum belum menyentuh pada kebijakan untuk melakukan pembersihan internal institusi penegak hukum secara serius. Akibatnya, disaat agenda pemberantasan korupsi difokuskan pada penegakan hukum, sementara aparat penegak hukumnya masih diselimuti praktek koruptif, usaha-usaha untuk memberantasnya terlihat menjadi tidak maksimal. Ketiga, adanya dukungan finansial dari Pemerintah Daerah sebagai bantuan operasional bagi Kejaksaan dan Kepolisian. Kondisi ini mengakibatkan independensi aparat penegak hukum dalam menangani perkara korupsi yang melibatkan pejabat publik di daerah tidak dapat maksimal. Sulit rasanya Kejaksaan Negeri atau Kepolisian Resort dapat mengusut perkara korupsi yang melibatkan Bupati/Walikota jika gedung Kejari atau Polresnya dibangun atas dukungan APBD. Keempat, minimnya akses masyarakat untuk memperoleh laporan kemajuan penanganan perkara korupsi oleh Kejaksaan dan Kepolisian. Masalah ini mengakibatkan jumlah perkara korupsi yang sudah diselesaikan oleh Kejaksaan dan Kepolisian sulit dikonfirmasi kebenarannya. Di sisi lain, aparat penegak hukum terjebak pada usaha-usaha penanganan perkara korupsi yang terbatas pada penyelesaian dari aspek jumlah. Misalnya jika dalam satu tahun, pemenuhan penyelesaian perkara korupsi yang ditargetkan sudah tercapai, maka dimensi kualitas kerap diabaikan. Kasusnya apa, nilai kerugiannya berapa dan siapa pelakunya bukan lagi merupakan prioritas. Kelima, buruknya koordinasi antara Kejaksaan, Kepolisian dan KPK. Bolak-baliknya sebuah perkara korupsi dari Kepolisian ke Kejaksaan, dan demikian pula sebaliknya menunjukan buruknya mekanisme koordinasi diantara lembaga penyidik. Akibatnya waktu untuk menyelesaikan perkara korupsi kian lama dan membuat proses penanganan perkara korupsi menjadi terhambat. KPK sebagai lembaga yang memiliki kewenangan luar biasa nampaknya tidak terlalu efektif dalam menjalankan peran Koordinasi dan Supervisi. Hal itu terbukti dari berbagai kasus korupsi di daerah yang penanganannya masih mengalami kemacetan. Atas kasus yang macet itupun, KPK enggan untuk mengambil-alih. Kecuali jika ada permintaan secara terbuka dari Kepolisian atau Kejaksaan agar KPK dapat menangani sebuah perkara korupsi, semisal yang terjadi dalam kasus Kutai Kertanegara dan Kendal. Keenam, banyaknya kasus korupsi yang dibebaskan di pengadilan. Dari data yang dikumpulkan oleh 15 Lembaga Pemantau Korupsi sejak 2004-2006, sebagian besar terdakwa korupsi divonis bebas dan salah satu penyebabnya adalah penyidikan, dakwaan dan tuntutan yang lemah. Diperoleh catatan bahwa kasus korupsi yang sudah dibebaskan mencapai 56 kasus. Meskipun membebaskan terdakwa korupsi merupakan bagian dari tanggungjawab hakim, tapi sebenarnya institusi penyidik dan penuntut juga tak dapat diabaikan sebagai salah satu faktor penyebabnya. Tuntutan JPU yang minim, dakwaan yang salah dan bukti-bukti pendukung yang lemah merupakan sumber dari lepasnya para terdakwa korupsi dari jerat hukum. Berdasarkan uraian itu maka mendesak: Komisi Pemberantasan Korupsi 1. Merealisasikan janji untuk menangani 1 perkara korupsi besar di setiap propinsi sebagai trigger mecanism penanganan perkara korupsi lainnya. 2. Menggunakan secara efektif instrumen Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) dan delik Gratifikasi untuk menjerat pelaku korupsi. 3. Membuka KPK perwakilan di daerah untuk memperkuat fungsi Koordinasi dan Supervisi. Kejaksaaan 1. Melakukan eksekusi terhadap perkara-perkara korupsi yang sudah mendapatkan kekuatan hukum tetap sebagai bukti keseriusan Kejaksaan dalam memberantas korupsi. 2. Meprioritaskan penanganan perkara korupsi dari aspek kualitas, baik yang terkait dengan jumlah nilai kerugian negara, dampak korupsi yang ditimbulkan bagi masyarakat dan siapa aktor yang terlibat. Kerapnya aparat kejaksaan mensplit perkara korupsi mengindikasikan bahwa penyelesaian perkara korupsi masih memprioritaskan pada sisi jumlah dan hanya untuk memenuhi target belaka. 3. Menolak segala macam bantuan keuangan di daerah yang dapat mempengaruhi independensi aparat penegak hukum dalam menangani perkara korupsi. 4. Membersihkan wilayah internal Kejaksaan dari praktek KKN sehingga dapat meminimalisir praktek korupsi dalam pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, Pimpinan Kejaksaan harus menindaklanjuti secara serius laporan-laporan masyarakat yang telah disampaikan kepada Komisi Kejaksaan. 5. Dalam melaksanakan kebijakan mutasi/promosi, Pimpinan Kejaksaan harus melihat rekam jejak aparaturnya sebelum menetapkan seseorang menempati jabatan tertentu, khususnya untuk posisi Kepala Kejaksaan, Asisten Pidana Khusus dan Asisten Intelejen. Menempatkan pejabat tertentu yang terindikasi terlibat dalam kasus korupsi justru akan membuat permasalahan bagi masyarakat yang mendambakan tegaknya keadilan. 6. Menghentikan rekomendasi agar para calon/tersangka korupsi mengembalikan uang hasil korupsi untuk menghentikan proses hukumnya. 7. Mendasarkan pemenuhan rasa keadilan masyarakat sebagai nilai-nilai yang seharusnya dianut dalam menangani/memberantas perkara korupsi sehingga para terdakwa korupsi tidak dengan mudah dibebaskan oleh pengadilan. 8. Mempertanggungjawabkan uang pengganti perkara korupsi yang telah dikumpulkan. 9. Membuat mekanisme akuntabilitas kinerja penanganan perkara korupsi melalui penyampaian progress report secara berkala kepada publik dan melibatkan pelapor dalam gelar perkara. Kepolisian 1.Melindungi pelapor korupsi secara sungguh-sungguh dari intimidasi, ancaman dan gugatan hukum dari pelaku korupsi. 2.Mengembangkan Timtas Tipikor ke daerah-daerah untuk memperkuat koordinasi antar lembaga penyidik. 3.Menempatkan mekanisme mutasi dan promosi sebagai bagian dari kerja Komisi Kepolisian, sekaligus memperkokoh kerja-kerja pengawasan terhadap penanganan perkara korupsi. Jakarta, 21 November 2006 Koalisi Nasional LSM Anti Korupsi (PIAR Kupang, SOMASI NTB, Bali Corruption Watch, Malang Corruption Watch, KP2KKN, Pattiro Semarang, Gebrak Brebes, Garut Government Watch, Tasikmalaya Corruption Watch, ICW, LBH Yogjakarta, Bako Sumbar, LBH Padang, YLBH Makasar, LPS-HAM Palu, Kontak Borneo, LPS-Air Pontianak, Seknas FITRA, Gerak Aceh, Atma Solo, Sanksi Borneo, Pokja 30, BIGS Jawa Barat, ACC Makasar, Maraks Surabaya, FP2K3 Kupang)