2018-10-29 00:00:00
Salah satu Pihak Terkena OTT, Dapatkah Perjanjian Dibatalkan?
Perubahan kebijakan pemerintah tak bisa dikualifikasi sebagai force majeur?
Komisi Pemberantasan Korupsi terus melakukan operasi tangkap tangan kepada para pihak yang diduga melanggar UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Operasi tangkap tangan yang dilakukan dalam kasus perizinan Meikarta, misalnya, bukan saja melibatkan aparat pemerintah tetapi juga pengusaha.
Dalam kasus semacam ini, konsumen bertanya-tanya apakah suatu proyek berlanjut atau tidak. Dalam kasus lain, apakah perubahan kebijakan pemerintah bisa menjadi dasar salah satu atau kedua pihak dalam perjanjian pembelian apartemen, misalnya, dapat memutuskan perjanjian secara sepihak. Pertanyaan senada dapat diajukan, dapatkah terkena OTT dijadikan dasar untuk menghindari kewajiban dalam suatu perjanjian? Jika pihak yang terkena OTT adalah yang langsung menandatangani perjanjian dengan konsumen, keberlangsungan perjanjian bisa menjadi persoalan.
Advokat yang selama ini menaruh perhatian pada kasus-kasus konsumen, David M.L.Tobing berpendapat konsumen dan pelaku usaha, khususnya apartemen, diikat dengan perjanjian yang biasanya berisi tahapan pembayaran, pembangunan, dan serah terima unit. Jika perjanjian berlanjut, dapat diasumsikan bahwa apa yang diperjanjikan kedua belah pihak sudah memenuhi syarat atau memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika perjanjian dilanggar pelaku usaha, konsekuensi yang mungkin terjadi adalah pembatalan perjanjian.
Pembatalan perjanjian, lanjut David, bisa dilakukan dengan secara sukarela, sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Sebaliknya, jika tak ada kesepakatan atau jika pelaku usaha membatalkan perjanjian, maka konsumen bisa menuntut pelaku usaha. “Tuntutan konsumen ini harus didasari wanprestasi pelaku usaha. Misalnya proyeknya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pun proyeknya berjalan tapi terlambat serah terima. Itu juga ada konsekuensi. Sudah diatur di dalam kontrak keterlambatan serah terima pelaku usaha harus membayar berapa. Itu sudah diatur,” katanya.
Bagaimana jika yang diperjanjikan ternyata belum memenuhi syarat dan diketahui di kemudian hari setelah perjanjian dilakukan? Menurut David, merujuk ke syarat sahnya perjanjian, salah satunya adalah mensyaratkan klausa yang halal. Jikalau yang diperjanjikan belum memenuhi syarat, lanjutnya, maka syarat klausa yang halal tidak terpenuhi dan bisa dikembalikan seperti sediakala, misalnya pengembalian uang muka atau downpayment (DP) yang sudah dibayarkan konsumen.
“Tinggal bagaimana konsumen bisa membuktikan bahwa dia tidak mengetahui syarat yang halal belum terpenuhi dalam perjanjian. Apakah konsumen tahu izin belum lengkap? Kalau konsumen tahu, itu risiko ada di konsumen. Kalau tidak tahu berarti konsumen merasa dirugikan,” jelasnya. Dalam kondisi seperti yang disebut terakhir, konsumen dapat menuntut pembatalan perjanjian.
Pakar hukum perdata, J. Satrio, berpendapat jika terjadi suap oleh pelaku usaha yang terlibat perjanjian kepada pejabat pemerintah, dan menyebabkan si pengusaha terkena OTT, perjanjian antara pengusaha dengan konsumen tidak serta merta dinyatakan batal. Pembatalan kontrak terjadi jika pelaku usaha mangkir dari isi kontrak atau wanprestasi. “Konsumen bisa membatalkan kontrak dan minta ganti rugi karena ada kesalahan prosedur dari proyek milik pelaku usaha, kalau proyek itu sampai tidak bisa dilanjutkan karena salahnya pihak pelaku usaha, pelaku usaha harus bertanggung jawab,” jelasnya.
Satrio mengingatan dalam konteks ini perlu dilihat apakah pelaku usaha melakukan kesalahan atau tidak, misalnya tidak memenuhi kewajiban yang terdapat dalam kontrak. Jika dalam kontrak pembelian apartemen, misalnya, jika terbukti ada kesalahan developer, maka konsumen dapat meminta ganti rugi.
Ahli Hukum Perdata J. Satrio menyampaikan bahwa kesalahan yang terdapat di dalam kontrak dapat menjadi alasan konsumen untuk mengajukan pembatalan kontrak dan meminta ganti rugi kepada pelaku usaha. “Harus dilihat pelaku usaha melakukan kesalahan atau tidak di dalam kontrak itu. Kalau tidak ada salah, tidak bisa dituntut ganti rugi. Konsumen bisa membatalkan kontrak dan minta ganti rugi karena ada kesalahan prosedur dari pelaku usaha,” katanya kepada hukumonline, Selasa (23/10).
Satrio mengingatkan bahwa syarat sahnya perjanjian sudah diatur dalam Paal 1320 Burgerlijk Wetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Syarat subjektifnya adalah kesepakatan para pihak dalam perjanjian (agreement) dan kecakapan para pihak untuk bertindak (capacity). Sementara, syarat objektifnya adalah suatu hal tertentu (certainly of terms), dan sebab atau kausa yang halal. Jika perjanjian yang dibuat tidak memenuhi Pasal 1320 KUH Perdata, maka perjanjian bisa dinyatakan batal. Pembatalan itu bisa berupa null and void atau voidable.
Dalam hal terjadi yang pertama (null and void), berarti dari awal perjanjian itu telah batal, atau dianggap tidak pernah ada, apabila syarat objektif tidak dipenuhi. Perjanjian itu batal demi hukum, dari semula tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Yang kedua, jika salah satu syarat subyektif tidak dipenuhi. Perjanjiannya bukan batal demi hukum, tetapi salah satu pihak dapat memintakan pembatalan perjanjian. Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatalkan (oleh hakim).
Berkaitan dengan perubahan kebijakan pemerintah yang berimbas pada pemenuhan perjanjian, Satrio berpendapat peraturan yang terbit setelah perjanjian disepakati tidak dapat begitu saja membatalkan kontrak atau perjanjian yang sudah sah. Meskipun peraturan baru membatalkan suatu proyek, perjanjian kedua belah pihak tetap sah. Apalagi pemerintah, dalam konteks ini, berada di luar perjanjian. “Proyeknya yang dibatalkan, tapi perjanjiannya tetap sah,” ungkapnya.
Satrio juga berpendapat perubahan kebijakan itu tidak dapat dikategorikan sebagai force majeur. Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dengan mengeluarkan sebuah regulasi dan berakibat berhentinya suatu proyek, mengindikasikan ada sesuatu yang tidak benar. Begitu pula dengan proyek yang pelaku usahanya terlibat suap. Force majeur lebih merujuk pada bencana alam, epidemik, kerusuhan, pernyataan perang, atau situasi perang.
Tindakan pemerintah, termasuk perubahan regulasi, pada dasarnya di luar kuasa para pihak. Sudah menjadi anggapan umum bahwa perubahan kebijakan itu merupakan bagian dari resiko berusaha. “Biasanya hal itu diatur secara tegas oleh para pihak dalam perjanjian, termasuk mekanisme penggantian kerugian atau tambahan beban kewajiban yang timbul”.
Kondisi di luar kendali para pihak adalah unsur yang menghilangkah kelalaian atau kesalahan pihak dalam perjanjian. Pasal 1244 KUH Perdata menegaskan debitor harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian, dan bunga jika tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perjanjian atau tidak tepatnya waktu menjalankan perikatan disebabkan oleh hal yang tidak terduga, yang tak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya walaupun tidak ada iktikad buruk. Selanjutnya, Pasal 1245 menentukan bahwa tidak ada penggantian biaya, kerugian, atau bunga jika keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi karena kebetulan, debitor terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.
Dosen Hukum Pidana Universitas Pelita Harapan, Jamin Ginting, berpendapat jika pelaku usaha terlibat suap dalam sebuah proyek, tidak secara otomatis membuat proyek tersebut berhenti. Proyeknya tetap berjalan, dan tetap menjamin hak konsumen dalam kontrak, sepanjang tidak terjadi wanprestasi.
Apalagi, dalam kasus suap pelaku usaha, korporasi belum tentu terlibat sampai adanya putusan pengadilan. Jika terlibat, sanksi yang diberikan biasanya hanya berupa denda dan hal tersebut tetap menjamin berjalannya proyek. Pemenuhan perjanjian tetap bisa dilakukan oleh manajemen perusahaan yang lain jika tindakan direksi –yang tertangkap tangan misalnya, atas nama perseroan. Jadi, proyeknya tetap bisa berjalan, perusahaan memenuhi kewajiban kepada konsumen. “Bukan proyeknya berhenti,” kata Ginting.
Dalam konteks ini, David Tobing menjelaskan, para pihak biasanya sudah mengatur situasi jika terjadi force majeur atau overmacht, atau perubahan kebijakan pemerintah. Para pihak dalam kontrak umumnya sudah mengantisipasi hal-hal semacam itu, dan menuangkannya di dalam isi kontrak. Jadi, kata David, harus dilihat isi perjanjian apakah ada klausul perubahan regulasi atau tidak.
“Kalau belum diatur, konsumen yang ingin menarik diri harusnya difasilitasi pengusaha. Pengusaha juga bisa menuntut kerugian kepada pihak yang mengeluarkan regulasi baru. Dari sisi konsumen harus dijamin hak mereka. Seandainya proyek tidak berjalan pihak pengusaha memberikan jaminan,” pungkasnya.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5bd1bc35ec966/salah-satu-pihak-terkena-ott--dapatkah-perjanjian-dibatalkan9Ls)