Para perancang peraturan perlu melakukan langkah-langkah serius guna menghindari kesalahan itu. Ada banyak tips yang diusulkan dan dikembangkan. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia pernah menerbitkan ‘9 Jurus Merancang Peraturan untuk Perubahan. Seraya merancang langkah terbaik yang perlu dilakukan, para perancang perlu juga melihat sejumlah kesalahan yang selama ini sering terjadi.
Salah Memilih Kata
Pilihan kata dalam peraturan sangat penting. Lema yang dipilih adalah penentu segala tindakan subjek yang diatur. Sebab, bahasa peraturan adalah bahasa hukum yang cenderung tunggal dan tidak multitafsir. Semakin lentur tafsir kata yang dipilih semakin besar potensi aturan itu tidak bisa dijalankan. Apalagi kalau kata yang dipilih salah.
Kesalahan semacam ini pernah dilakukan penyusun Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Para perancang tampaknya sulit membedakan lema ‘penetapan’ dan ‘putusan’. Undang-Undang ini mengatur pembatasan kasasi. Pasal 45 A ayat (3) menyebutkan jika masih ada permohonan kasasi yang formal tidak memenuhi syarat maka permohonan itu harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Menurut Undang-Undang ini, pernyataan tidak dapat diterima dituangkan dalam bentuk ‘penetapan’ Ketua Pengadilan Negeri.
Penggunaan kata ‘penetapan’ dalam Undang-Undang ini jelas salah. Yang benar adalah ‘putusan’. Sesuai hukum acara, pernyataan tidak dapat diterima suatu perkara dituangkan dalam bentuk putusan hakim, bukan penetapan. Mahkamah Agung akhirnya mengoreksi kekeliruan para perancang melalui Surat Edaran No. 6 dan No. 7 Tahun 2005. MA menyatakan kata penetapan Ketua PN harus dibaca sebagai surat keterangan Ketua PN.
Sesuai perkembangan, Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 sudah digantikan. SEMA yang mengoreksi kesalahan perancang itu juga sudah dinyatakan tidak berlaku. Kekeliruan kata sudah diperbaiki dalam Undang-Undang Mahkamah Agung terbaru.
Salah satu kata yang sering disebut dalam perundang-undangan dan bisa menimbulkan multitafsir adalah ‘sesuatu’. Kata ini disebut dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Salah Frasa/Kalimat
Tidak berbeda dari kesalahan kata, para perancang juga acapkali keliru merumuskan norma. Tidak seluruh norma keliru, melainkan sebagian atau pada frasa tertentu. Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi banyak mengoreksi kesalahan pada frasa atau kalimat perundang-undangan.
Contoh yang sederhana adalah penggunaan frasa ‘ditunjuk dan atau’ dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Frasa itu dianggap bertentangan dengan materi pasal 15 Undang-Undang yang sama. Setelah dipersoalkan lima orang bupati di Kalimantan Tengah, frasa itu akhirnya dikoreksi (dibatalkan) MahkamahKonstitusi.
Salah Rujuk Konsiderans
Dalam tata urutan perundang-undangan dikenal asas lex superiori derogat legi inferiori, yang berarti peraturan lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. Untuk mengukur konsistensi, peraturan yang lebih rendah seharusnya merujuk pada aturan yang lebih tinggi. Aturan rujukan itulah yang dimasukkan dalam konsiderans.
Ada dua kesalahan umum yang sering terjadi. Pertama, merujuk pada peraturan yang sudah tidak berlaku atau sudah digantikan peraturan lain. Sekadar contoh bisa dikemukakan dua Peraturan Daerah (Perda) Kota Depok, masing-masing No. 9 Tahun 2011 tentang Menara Telekomunikasi, dan No. 10 Tahun 2011 tentang Pendirian Perusahaan Air Minum Kota Depok. Secara formal, kedua Perda ini masih merujuk pada UU No. 10 Tahun 2004, padahal wet tentang pembentukan peraturan perundang-undangan ini sudah digantikan UU No. 12 Tahun 2011.
Kesalahan kedua adalah peraturan tidak merujuk sama sekali aturan yang lebih tinggi meskipun materi yang diatur sama. Contoh yang bisa diajukan adalah Peraturan Kapolri (Perkap) No. 14 Tahun 2007 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis. Konsiderans Perkap ini sama sekali tidak menyinggung Peraturan Pemerintah (PP) No. 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis. Padahal dalam tata urutan, Perkap jelas lebih rendah kedudukannya dibanding PP.
Salah rujuk pasal
Para perancang peraturan perlu membaca kembali struktur rancangan mereka sebelum disahkan untuk menghindari kesalahan rujukan. Dinamika pembahasan acapkali mengubah posisi norma dari pasal tertentu ke pasal lain. Kesalahan rujukan bisa membuat pasal tertentu tidak bisa dijalankan.
Contoh konkrit kasus semacam ini ditemukan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Norma pidana dalam pasal 116 ayat (4) merujuk pada pasal 83. Pasal rujukan ini jelas salah. Pasal 116 ayat (4) memuat ancaman sanksi bagi pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri dan kepada desa yang mengabil tindakan menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye seperti diatur padal 83. Rujukan salah karena pasal 83 mengatur dana kampanye. Tindakan pejabat yang merugikan calon kepada daerah justru diatur dalam pasal 80.
Para perancang UU Pemda akhirnya mengakui kesalahan rujukan itu, dan mendukung langkah Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal rujukan yang salah.
Salah Bentuk Peraturan
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 menganut asas kesesuaian materi muatan. Artinya, perancang harus tahu norma tertentu adalah materi muatan Undang-Undang, atau Peraturan Pemerintah. Para perancang juga perlu memegang prinsip bahwa norma yang bersifat mengatur masyarakat luas sebaiknya dituangkan dalam bentuk peraturan, bukan keputusan. Tetapi tidak sedikit lembaga yang rajin mengeluarkan norma berbentuk peraturan yang mengikat keluar atau regeling dalam bentuk Surat Edaran (SE). Aturan semacam ini sering disebut pseudo wetgeving.
SE biasanya berisi imbauan kepada internal, bukan suatu aturan yang bersifat regeling. Formatnya pun relatif seperti surat biasa. Karena itu pula selama ini pengujian SE masih menjadi tanda tanya. Namun melalui putusan tertanggal 27 September 2010, Mahkamah Agungmenyatakan SE yang bersifat regeling tetap bisa diuji. Mahkamah membatalkan SE Dirjen Pendidikan Islam Departemen Agama No. Dj.I/PP.00.9/973/2009 tidak berlaku karena bertentangan dengan Keputusan Mendiknas No. 36/D/O/2001. Penyusun SE memasukkan syarat yang harus dipenuhi setiap dosen bergelar doktor yang hendak mengajukan diri menjadi profesor.
sumber : ( http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4fb22ef1ccd58/kesalahan-kesalahan-dalam-proses-legislasi)