2010-11-01 00:00:00
Perda Kos di Yogyakarta Jalan Terus
Ketika Peraturan Daerah Kota Palu tentang Retribusi Izin Rumah Kos/Pondokan ditegur Menteri Dalam Negeri (2/1/2002) dan dibatalkan dua tahun kemudian, perda sejenis malah diundangkan dalam Lembaran Daerah Kota Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2003 (22/12/2003). Hingga Maret 2006, menurut data Badan Kependudukan Keluarga Berencana dan Catatan Sipil atau BKKBC Kota Yogyakarta, baru 195 pondokan dari 4.076 pondokan di Kota Gudeg ini dilengkapi surat izin penyelenggaraan pondokan atau SIPP. Padahal, Perda tentang Penyelenggaraan Pondokan di Kota Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2003 telah disetujui DPRD Kota Yogyakarta lewat Keputusan DPRD Nomor 28/K/DPRD/2003 tertanggal 15 Desember 2003. Timbul pertanyaan, seberapa cepat sebuah perda dapat diterapkan di masyarakat. Lebih jauh lagi, sejauh mana efektivitas sebuah perda bagi masyarakat sebab SIPP itu tercantum di perda pondokan yang diterbitkan Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta. Mantan Kepala BKKBC Kota Yogyakarta Widiastjarjo yang memangku jabatan itu hingga Januari 2006 mengungkapkan, perda tidak serta-merta dapat diterapkan di lapangan, khususnya sebelum adanya petunjuk pelaksanaan tentang itu. Petunjuk pelaksanaan Perda No 4/2003 itu sendiri baru dikeluarkan oleh Wali Kota Yogyakarta pada 13 November 2004, atau hampir setahun sejak perda itu diundangkan, melalui Keputusan Wali Kota Nomor 134 Tahun 2004. Pemkot Yogyakarta memang telah membentuk Tim Pengendali Pengawasan Terpadu Pondokan (TPPTP) sebagai upaya sosialisasi kepada masyarakat tentang perda pondokan itu. Tim itu terdiri dari aparat BKKBC di tingkat kecamatan dan kelurahan. Selain sosialisasi, tim itu bertugas mendata jumlah pondokan. Namun, muncul kesan sosialisasi dan pendataan itu kurang memberikan hasil optimal, bahkan berlarut-larut prosesnya. Akibatnya, dua proses itu tidak sejalan dengan pertumbuhan pondokan di Kota Yogyakarta yang tergolong cepat. Untuk Kecamatan Gondokusuman, misalnya, pada tahun 2003 jumlah pondokannya hanya 62, tapi akhir 2004 lalu menjadi 652. Di Umbul Harjo lebih mencengangkan, yakni jadi 1.247 dari sebelumnya 68. Akibat yang lebih buruk, fungsi pengawasan pemkot terhadap perda itu makin sulit dilakukan. Masyarakat yang membangun pondokan tanpa SIPP, izin mendirikan bangun bangunan (IMBB), dan surat izin gangguan (HO) makin bertambah. Belum lagi menyangkut isi perda lain yang lebih detail, misalnya penyediaan kamar tamu di setiap pondokan, jam kunjung, atau dilarangnya pondokan campur laki-laki dan perempuan. Operasi mendadak Namun Syukri Fadholi, Wakil Wali Kota Yogyakarta, membantah bahwa perda pondokan itu tidak berjalan efektif. Katanya, kesan ketidakefektifan perda muncul karena dalam praktiknya perda itu baru diterapkan belum lama. Ia yakin, perda itu akan berfungsi optimal, yakni menjaga, melestarikan, dan mengembangkan citra Kota Yogyakarta sebagai kota pendidikan dan kota budaya, sebagaimana yang menjadi latar belakang utama diterbitkannya perda itu. Selain sosialisasi oleh TPPTP, secara berkala, operasi mendadak (sidak) pondokan juga dilakukan di wilayah Kota Yogyakarta oleh aparat struktural pemkot. "Kami tidak segan-segan menutup pondokan yang tidak berizin dan digunakan campur untuk laki-laki dan perempuan, apalagi yang pemiliknya tetap membandel meski telah kami peringatkan hingga tiga kali. Sekaligus, ini merupakan upaya terapi kejut untuk mengajak masyarakat penyelenggara pondokan untuk sesuai aturan," kata Syukri. Syukri menilai hasil positif kegiatan sidak itu sudah terasa. Para penyelenggara pondokan yang belum berizin, misalnya, kemudian telah berinisiatif mengajukan izin atas pondokan mereka di pemkot. Pemkot memang serius mengawal perda ini. Seperti diutarakan Kepala Seksi Penyidikan Dinas Ketertiban Kota Yatna Wardayanta, operasi atau inspeksi mendadak pemondokan ini intinya dilakukan setiap hari. "Sering kami mendapati ada sepasang muda-mudi berada di kamar kos yang tertutup. Mereka biasanya mengaku sedang belajar bersama. Namun, kami belum pernah menjumpai tindakan asusila karena begitu kami ketok pintu tidak lama langsung dibuka. Mereka hanya kami beri imbauan moral karena sasaran perda sendiri bukan mereka, namun pemilik pondokan," kata Yatna. Meskipun begitu, itu tidak bisa serta-merta dijadikan asumsi pukul rata bahwa keadaan pondokan di semua kos di Kota Yogyakarta "baik-baik saja". Menggelar operasi pondokan ternyata juga tidak mudah. Yatna dan timnya paling-paling hanya bisa menyisir dua pondokan tiap hari. Banyak pondokan yang letaknya tersembunyi di gang- gang. Juga, ketika didatangi, pemilik pondokan—yang sebagian berasal dari luar Kota Yogyakarta dan DIY—sering tidak di pondokan. Hingga akhir Maret, pemilik pondokan yang sudah dipanggil secara proyustisia untuk ditanyai izin pondokan sebanyak 121 orang. Adapun yang sudah disidangkan ada 78 orang. "Panggilan proyustisia ini memiliki konsekuensi jika setelah panggilan kedua tidak ditanggapi, kami bisa meminta kepolisian memanggil paksa. Namun, pemilik pondokan sudah cemas dan datang sebelum hari panggilan," katanya. "Jika demikian, lebih baik pemkot mengerahkan aparat kelurahan atau ketua-ketua RT/RW di seluruh kota. Jangkauan atas pondokan yang dioperasi pasti akan lebih merata di tiap kawasan. Hasilnya juga akan lebih dapat dipertanggungjawabkan karena pendekatan oleh aparat terdekat akan lebih dapat diterima oleh masyarakat," kata anggota Komisi A DPRD Kota Yogyakarta Sukardi Yani. Jalan terus Seperti diakui Syukri saat memimpin sidak, dari delapan kali kegiatan, baru 50-60 pondokan yang bisa didatangi. Ia menegaskan, sidak akan terus dilakukan hingga seluruh pondokan menepati perda itu . Namun Yani berpendapat, keberadaan aparat kepolisian dan TNI dalam tim operasi sidak, meskipun memang menjadi bagian dari aparat musyawarah pimpinan daerah (muspida), membuat kesan sidak itu jauh dari kesan persuasif. Seakan-akan, masyarakat pemilik dan penyewa pondokan menjadi pesakitan ketika didatangi tim gabungan itu. "Akan sangat lain kesan dan hasil yang diperoleh jika kegiatan itu dilakukan oleh ketua RT/RW setempat, sekaligus akan menjadi tempat bertanya. Aparat kelurahan seharusnya juga lebih diberdayakan," kata Yani. Terkait banyaknya pondokan di Kota Yogyakarta yang belum memiliki SIPP, IMBB, dan HO, Yani mengusulkan agar pemkot memberikan kemudahan maupun melakukan pemutihan sejumlah surat izin itu. Kepala BKKBC Kota Yogyakarta F Kaswanto menuturkan, pondokan yang belum mempunyai izin ini biasanya terkendala karena pemohon tidak mempunyai IMBB. Salah satu alasannya adalah tanah pondokan itu masih diatasnamakan nama orangtua si pemohon, belum diatasnamakan pemohon sendiri sebagai syarat untuk mendapatkan IMBB. "Memang jika tidak punya izin pondokan tidak langsung kami tutup karena kami mengedepankan upaya persuasif," kata Kaswanto. Ia juga menyarankan agar anak kos memiliki kartu identitas penduduk musiman agar juga terdata di kota. Kartu itu bisa diurus di kecamatan. Yani yakin jika izin yang dikantongi setelah pemutihan diimbangi dengan pengawasan yang ketat, maka penyelenggaraan pondokan di kota akan lebih baik. "Sekali lagi, kinerja aparat memang menjadi kunci efektif tidaknya sebuah perda. Mereka seharusnya menjadi pengawal perda itu sejak awal secara simultan. Jangan sampai perda-perda itu sia-sia, dan hanya menjadi label saja," kata Yani, yang juga turut menyusun perda pondokan itu. Yatna menambahkan, kunci penegakan perda itu juga berada di tangan masyarakat. Aparat pemerintah yang di lapangan bertugas mengawal perda tentu saja tidak akan bisa berbuat banyak jika tidak ada bantuan warga. "Masih banyak warga yang cuek. Mereka tidak memerhatikan kos-kosan di sekitarnya meskipun diketahui kos campur," ujar Yatna. sumber : Kompas